Indonesia Bisa Untung Lebih dari Rp 200 Triliun dari Tambang Freeport
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Indonesia kini memiliki 51,23 persen saham PT Freeport Indonesia. Keuntungan Indonesia melalui divestasi saham diperkirakan mencapai lebih dari Rp 200 triliun hingga 2041.
Untuk meningkatkan kepemilikan saham, PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum telah membayar 3,85 miliar dollar AS pada 21 Desember 2018 lalu. Jumlah tersebut untuk membeli hak partisipasi atau participating interest Rio Tinto dan 100 persen saham Freeport McMoran Incorporated (FCX) di PT Indocopper Investama. Participating interest Rio Tinto di PT Freeport Indonesia (PTFI) sebesar 40 persen, sedangkan saham Indocopper sebesar 9,36 persen. Dari 40 persen participating interest Rio Tinto akan dikonversi jadi saham yang kemudian ditambah dengan bagian saham Indocopper, yang membuat Inalum bisa menguasai saham PTFI sebesar 51,23 persen.
Uang sebesar 3,85 miliar dollar AS, diperoleh Inalum melalui dana pinjaman dari penerbitan obligasi global dalam 3-5 tahun. “Kami targetkan dapat melunasi obligasi tersebut dalam waktu empat tahun dan maksimal lima tahun. Setelah itu, hingga 2041, kita dapat menikmati keuntungan dari penambangan bawah tanah (underground mining),” kata Direktur Utama PT Inalum (Persero) Budi Gunadi Sadikin, Rabu (9/1/2019) dalam diskusi publik dengan tema "Kembalinya Freeport ke Indonesia, antara Kepentingan Nasional dan Kepentingan Asing".
Diskusi ini diselenggarakan oleh Bidang Energi dan Pertambangan Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam.
Budi menyampaikan, divestasi saham menandai perubahan status operasi Freeport dari kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Dari total saham 51,23 persen, Inalum kini mengontrol 41,23 persen dan 10 persen sisanya milik Pemerintah Daerah Papua.
Lebih lanjut, Budi menjelaskan, jumlah Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization (EBITDA) atau pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi Freeport mencapai 4 miliar dollar AS per tahun. Sementara untuk keuntungan bersihnya, mencapai 2 miliar dollar AS per tahun.
“Dari keuntungan bersih yang diperoleh Freeport sekitar 2 miliar dollar AS per tahun, dengan saham 51,23 persen, maka dividen kita dapat mencapai 1 miliar dollar AS per tahun,” kata Budi.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menjelaskan, pendapatan Freeport akan menurun di tahun 2019 hingga 2021. Sebab, akan ada pembiayaan untuk penambangan bawah tanah.
“Pendapatan Freeport yang menurun lebih dari 50 persen juga akan berdampak pada Indonesia. Pengurangan pendapatan yang signifikan disebabkan oleh adanya pemindahan dari tambang terbuka ke tambang bawah tanah,” kata Bambang.
Budi menjelaskan, penambangan bawah tanah oleh Freeport di Timika, Papua termasuk yang paling rumit dan kompleks di dunia. Menurutnya, penambangan bawah tanah diperkirakan akan terwujud pada 2022.
Peneliti pada Alpha Resarch Database Indonesia Ferdy Hasiman menyampaikan apresiasinya terhadap langkah berani pemerintahan Jokowi yang telah menyelesaikan divestasi saham Freeport dengan mekanisme korporasi. Dengan menjadi pemegang saham mayoritas di Freeport, Indonesia akan diuntungkan secara finansial.
“Nantinya, Freeport akan menikmati produksi dari tambang underground yang dalam perkiraan berkisar 160.000-200.000 ton konsentrat tembaga. Melalui jumlah ini, Indonesia dengan saham 51,23 persen akan dapat keuntungan besar karena pendapatan Freeport dari tambang Grasberg ke depan bisa di atas 3 miliar dollar AS per tahun,” kata Ferdy.
Selain itu, melalui IUPK, berarti bahwa posisi negara sebagai pemilik tambang berada di atas Freeport yang merupakan perusahaan asing. Melalui kondisi ini, kontribusi penerimaan negara akan semakin besar. Sebab, selain bertambahnya saham, ke depan, Freeport juga akan membangun pabrik smelter tembaga dan emas di Gresik. (SHARON PATRICIA)