Pelaksana Tugas Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Ferdinandus Setu yang dikonfirmasi melalui pesan singkat, Selasa (8/1/2019), di Jakarta, menjelaskan,
Undang-Undang (UU) No 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengelompokkan konten negatif menjadi 12 kategori. Kedua belas kategori yaitu pornografi/pornografi anak, perjudian, pemerasan penipuan, kekerasan/kekerasan anak, fitnah/pencemaran nama baik, dan pelanggaran kekayaan intelektual. Kemudian, produk dengan aturan khusus, provokasi SARA, berita bohong, terorisme/radikalisme, serta informasi/dokumen elektronik melanggar undang-undang lainnya.
Sebanyak 1.531.947 konten negatif yang berhasil ditangani bersumber dari laporan masyarakat dan penelusuran aktif Kemkominfo menggunakan mesin pengais bernama AIS. Total keseluruhan laporan warganet mengenai konten negatif, terutama konten menyebar di media sosial, sampai dengan tahun 2018 sebanyak 547.506 laporan. Sisanya, konten bersumber hasil penyisiran Kemkominfo.
"Kami membuka saluran pengaduan konten melalui akun Twitter @aduankonten, aduankonten.id, dan nomor WhatsApp 08119224545," ujar dia.
Secara spesifik berbicara mengenai media sosial, Ferdinandus mengungkapkan laporan dari masyarakat mengenai konten negatif dominan bersumber dari media sosial Twitter. Sepanjang 2018, jumlah pelaporan mencapai 531.304.
Facebook dan Instagram menempati urutan kedua terbanyak dilaporkan warga, yakni sebanyak 11.740 kali. Urutan berikutnya adalah Youtube dan Google yang dilaporkan 3.287 kali.
Dia menceritakan, penanganan konten negatif terbesar berasal dari kategori pornografi, perjudian, dan penipuan. Jumlah konten pornografi mencapai 898.108, perjudian 78.698, dan penipuan 5.889.
Sebelumnya, pemerintah menyerukan rencana akan menerapkan penalti kepada penyelenggara platform media sosial yang tidak turut mengendalikan konten negatif berupa informasi bohong atau hoaks. Rencana itu dimasukkan dalam draf revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan, menyampaikan rencana itu November 2018. Sejalan dengan draf revisi PP itu, Kemkominfo menyiapkan revisi PP tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, salah satu substansinya soal nilai penalti rupiah ke platform media sosial. Besarannya bisa berkisar Rp 1 miliar sampai Rp 10 miliar.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara kembali menyampaikan rencana itu dalam kunjungan kerja di Maluku Utara pada 2-3 Januari 2019. Hingga kini, draf revisi masih berada di Sekretariat Negara.
"Jadi, selain poin klasifikasi data dan pusat data, revisi PP Nomor 82 Tahun 2012 akan memuat penalti rupiah," kata Rudiantara.
Chairman Asosiasi Big Data dan AI (ABDI) Rudi Rusdiah yang dihubungi secara terpisah, berpendapat, penanganan informasi bohong telah diatur di UU No 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 28 ayat (1). Dengan demikian, menurutnya, rencana memasukkan poin penalti rupiah ke revisi PP Nomor 82 Tahun 2012 kurang bagus.
Malahan, dia memandang akan muncul kesan tumpang tindih dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Di UU ini pasal 45 ayat (2) telah memuat denda sebesar Rp 1 miliar dan pidana enam tahun.
"Poin revisi menyangkut pusat data dan klasifikasi data sudah menimbulkan banyak kontroversi dan penolakan. Apabila ditambah poin penalti rupiah, arah merevisi PP Nomor 82 Tahun 2012 semakin tidak fokus," tutur Rudi.