Bahasa menunjukkan jati diri bangsa. Raja Ali Haji (1808-1873) telah menegaskan hal itu dalam pasal kelima Gurindam Dua Belas yang ia tulis pada 1847: ”Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihatlah kepada budi dan bahasa”.
Raja Ali Haji adalah ulama, sejarawan, dan pujangga yang meletakkan dasar-dasar tata bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itu kemudian ditetapkan sebagai bahasa Indonesia, yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda oleh sekumpulan pemuda dari sejumlah daerah di Nusantara pada 28 Oktober 1928.
Pakar bahasa James T Collins mencatat, bahasa Melayu telah memasuki fase modern sejak abad ke-16, bersamaan dengan fase modern bahasa Inggris. Ada beberapa parameter yang menunjukkan hal itu.
Pada abad itu, bahasa Inggris dan bahasa Melayu mengalami penambahan kata serapan yang sangat besar jumlahnya, terutama istilah kesarjanaan. Bahasa Inggris banyak menyerap bahasa Latin, bahasa Melayu semakin kaya dengan kata-kata serapan dari bahasa Arab.
Dalam masa yang sama, banyak karya sastra asing yang diterjemahkan ke bahasa Inggris, terutama dari Perancis dan Latin. Pada bahasa Melayu juga terjadi penerjemahan karya-karya dari bahasa Arab, Parsi, Hindi, dan Portugis.
Ciri lain, menurut Collins, adalah pembakuan ejaan bahasa Inggris yang hingga kini digunakan sebagai bahasa Inggris standar. Pada saat yang sama, hal itu juga terjadi dalam perkembangan bahasa Melayu menuju bahasa modern.
Konsekuensi sebagai bahasa modern, bahasa Indonesia harus terbuka terhadap bahasa asing. Perkembangan pesat dalam bidang ekonomi, hukum, politik, teknologi, dan sebagainya melahirkan berbagai istilah dalam bahasa asing. Era globalisasi telah menyebabkan intrusi bahasa yang sulit dibendung.
Bahasa Indonesia akan tetap mencerminkan jati diri bangsa Indonesia jika penggunanya memiliki kebanggaan dan menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. (LAM)