Indeks Kota Cerdas Indonesia, biasa disingkat IKCI, pertama kali diperkenalkan Kompas pada tahun 2015. Pada saat itu Kompas memublikasikan kota-kota di Indonesia yang jumlahnya 93 kota otonom dan 5 kota administrasi melalui liputan setiap hari. Selain infografik memuat statistik deskriptif, juga dipaparkan arah pembangunan kota dalam liputan tersebut.
Hasil pengolahan data sekunder dan data primer kemudian melahirkan Surabaya sebagai kota peraih skor tertinggi kategori kota besar; Yogyakarta sebagai pemegang skor tertinggi kota sedang; dan Magelang sebagai yang tertinggi untuk kategori kota kecil. Ketiga kota tersebut unggul dalam kumulatif aspek yang diukur, yakni dalam dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Kompas kembali melakukan pengukuran kota pada tahun 2018. Prinsipnya adalah melanjutkan indeks yang sudah dilakukan tiga tahun sebelumnya. Sesuai dengan kaidah ilmiah, dilakukan beberapa penyesuaian dalam pengukuran. Mengenai indeks itu sendiri, dilakukan penyesuaian dari sebelumnya dimensi dengan tiga aspek menjadi enam aspek. Kali ini indeks mengadopsi model yang dikembangkan oleh Boyd Cohen, seorang penggiat kota cerdas di tataran internasional.
Kategori kota dari sebelumnya tiga kelompok disesuaikan menjadi empat kelompok. Indeks mengadopsi kategori kota sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Di dalam penjelasan UU ini dinyatakan kota metropolitan adalah kota dengan penduduk lebih dari 1 juta jiwa. Kota besar merupakan kota dengan jumlah penduduk 500.000 jiwa hingga 1 juta jiwa. Kota sedang dinyatakan sebagai kota dengan jumlah penduduk 100.000 jiwa sampai 500.000 jiwa. Kota kecil dikategorikan kota dengan jumlah penduduk 50.000 jiwa sampai 100.000 jiwa.
Melalui penggolongan kota tersebut, populasi kota metropolitan terbilang 13 kota. Kota besar sebanyak 13 kota. Kota sedang menjadi kota dengan jumlah paling besar, berkali lipat dari kedua kota sebelumnya, dengan jumlah 57 kota. Sementara kota kecil jumlahnya sesuai dengan kategorinya, menjadi yang paling kecil, yakni 10 kota. Tidak satu pun kota tergolong kecil ini berada di Jawa. Ini mengindikasikan kota-kota di Jawa memang padat penduduk.
Pengukuran kota yang sebelumnya mengikutsertakan partisipasi masyarakat lewat opini publik dan menjadi penyeimbang atas konstruksi data sekunder tidak lagi dipergunakan. Sebagai gantinya, direkrut 12 pakar yang berasal dari disiplin ilmu berbeda-beda. Ada yang mampu dalam bidang perencanaan perkotaan, bidang sosiologi, dan sebagainya. Mereka direkrut untuk melakukan penilaian atas aspek dimensi serta turunannya, begitu pula penilaian atas status kota itu sendiri.
Mereka pertama-tama melakukan pembobotan atas keseluruhan enam dimensi dan subdimensi yang masing-masing berjumlah tiga pilar. Melalui pengukuran analytic hierarchy process (AHP), diperoleh bobot dari setiap dimensi dan pilar tersebut. Dari enam dimensi itu, aspek masyarakat memperoleh skor yang paling tinggi.
Dalam tradisi Yunani kuno, arti paling penting dari sebuah polis mengacu pada kelompok warga (body of citizens). Begitu pula bagi filsuf Plato (427-347 SM) bentuk pemerintahan terbaik mengarah pada kesejahteraan warga. Plato menyebutnya sebagai bonum commune. Bobot tertinggi pada aspek masyarakat di antara enam aspek, dengan demikian mendapatkan pembenarannya.
Sebuah kota dibangun bukan demi kepentingan penguasa atau mereka yang duduk di pemerintahan. Sebuah kota dibangun tidak semata-mata berisikan berbagai kecanggihan instrumen teknologi digital dalam mempermudah pelayanan warga.
Sebagaimana dikemukakan oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini: ”Buat apa kota berkembang pesat, tetapi penduduk miskin bahkan tak punya tempat tinggal masih ada. Program dan kebijakan (pemerintah) harus menyejahterakan dan memberi kenyamanan bagi seluruh penghuni kota.” (Kompas, 30 Mei 2015).
Setelah semua kota mendapatkan penilaian, dipilih 10 kota dengan skor tertinggi dari setiap kategori kota. Para pakar kemudian memberikan bobot pada setiap kota terpilih tersebut untuk menambah nilai, yang sebelumnya sudah didapat dari akumulasi data sekunder. Kemudian, setelah penjumlahan skor dari data sekunder ditambah skor dari penilaian pakar, diperoleh masing-masing tiga kota dengan skor tertinggi.
IKCI tahun 2018 kembali memanggungkan Surabaya sebagai peraih skor tertinggi. Sebelumnya dalam IKCI 2015 Surabaya meraih skor 60,60. Kota yang dipimpin Tri Rismaharini ini untuk IKCI 2018 meraih kenaikan skor signifikan menjadi 67,03. Di tangan Ibu Wali Kota, Surabaya yang kerap mendapatkan penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri mengalami kemajuan pesat. Seorang wali kota, dalam hal ini seorang chief executive officer (CEO) kota, tidak sekadar membawa kota menjadi semakin modern, tetapi harus semakin menyejahterakan warga masyarakat. Itulah hakikat sebuah kota cerdas. Itu pula yang ingin diwujudkan lewat IKCI Kompas. (LITBANG KOMPAS)