Parpol dan Korupsi Pejabat
Tak terhitung sudah berapa kali Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan operasi tangkap tangan dan mengumumkan status tersangka atas pejabat publik yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.
Ironisnya, mereka mencakup hampir semua jabatan terhormat di negeri ini, mulai menteri negara, anggota DPR dan DPRD, hingga gubernur, bupati, dan wali kota.
Hingga 2018 saja, KPK mencatat sekitar 100 kepala daerah terjerat korupsi. Data ini belum termasuk sekitar 220 anggota DPR dan DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) yang menjadi pesakitan serupa, baik yang tersandung kasus bersama-sama dengan mitranya di eksekutif maupun kasus terpisah. Angkanya lebih mencengangkan jika disertakan aparat negara lainnya, seperti aparatur sipil negara dan penegak hukum, mulai dari polisi dan jaksa, hingga hakim, termasuk hakim konstitusi yang dianggap wakil Tuhan di dunia nyata.
Menarik bahwa sebagian besar kasus korupsi itu bersentuhan dengan otoritas yang dimiliki pejabat publik dari parpol. Apa yang salah dengan parpol? Apa yang perlu dibenahi ke depan agar korupsi pejabat publik dapat dikurangi?
Mencuri uang rakyat
Ketua KPK Agus Rahardjo berseloroh, seandainya KPK memiliki tangan, termasuk satuan tugas dan penyidik, dalam jumlah relatif banyak, bisa jadi hampir setiap hari ada operasi tangkap tangan (OTT). Agus bisa jadi benar. Betapa tidak, untuk kepala daerah, misalnya, motif melakukan korupsi itu sudah terbangun sejak menjadi pasangan calon (paslon) dalam pilkada.
Survei Litbang KPK pada 2016 dan 2017 memperlihatkan betapa besarnya biaya yang dikeluarkan para calon kepala daerah. Rata-rata untuk kandidat bupati/wali kota Rp 20 miliar-Rp 30 miliar dan untuk gubernur Rp 20 miliar-Rp 100 miliar. Padahal, rata-rata harta kekayaan 613 kandidat kepala daerah yang disurvei hanya sekitar Rp 6,7 miliar. Empat calon bahkan memiliki harta Rp 0 (baca: nol rupiah) dan dua orang lainnya berharta minus.
Tak mengherankan jika, masih menurut survei KPK, 82,6 persen paslon mengandalkan pembiayaan para donatur atau sponsor. Sponsor atau donatur adalah para pengusaha, organisasi, lembaga, dan perorangan, baik dari Jakarta maupun daerah setempat, yang mengharapkan imbalan dalam bentuk proyek, keamanan berbisnis, akses dalam penentuan kebijakan, akses jabatan di BUMD, upaya memperoleh jatah bantuan sosial, dan kemudahan perizinan.
Biaya besar pilkada yang umumnya ditalangi donatur atau sponsor inilah yang turut mendorong para kepala daerah hasil pilkada melakukan tindak pidana korupsi. Jadi, ada hubungan kausalitas antara politik uang—termasuk biaya mahar politik yang dikeluarkan paslon untuk dapat rekomendasi pimpinan parpol—yang terjadi sebelum pilkada dan korupsi serta suap kepala daerah setelah pilkada.
Semakin besar biaya politik yang ditanggung sponsor untuk para paslon, semakin besar potensi korupsi dilakukan kepada daerah hasil pilkada. Ironisnya, hampir tak ada cara lain bagi mereka untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan sponsor dan donatur kecuali mencuri uang rakyat dalam APBD. Cara lain yang tak kalah buruk, memperjualbelikan jabatan mereka untuk memperoleh rente dari para pebisnis yang berkepentingan mencari kemudahan berusaha. Mereka ini, esensinya sama, memburu rente dari para pengusaha atas nama kepentingan rakyat.
Panen raya pilkada
Ada sejumlah faktor yang mendorong tindak pidana korupsi kepala daerah produk pilkada langsung, di antaranya skema pilkada langsung itu sendiri yang membuka peluang terjadi politik uang. Namun, skema pilkada bukan satu-satunya faktor politik uang dan korupsi. Faktor tak kalah penting, tak adanya standar integritas para paslon dan parpol pengusung paslon di pilkada.
Terkait skema pilkada langsung, seperti dianut UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, ada problem yang diduga kuat turut menyuburkan praktik politik uang dan mendorong kepala daerah hasil pilkada melakukan korupsi. Di antaranya, proses kandidasi yang sentralistik dan oligarkis, tak adanya kewajiban bagi parpol melakukan pemilihan pendahuluan sebelum penetapan paslon yang diusung, dan berlakunya syarat ambang batas pengusungan paslon bagi parpol/gabungan parpol yang terlampau tinggi, begitu pula bagi kandidat perseorangan.
Proses kandidasi yang memberi kekuasaan besar kepada pengurus partai tingkat pusat ini tak hanya melahirkan proses sentralistik dan oligarkis, tetapi juga pilkada berbiaya politik tinggi. Semua kandidat alias paslon yang diusung suatu parpol di daerah harus memperoleh surat rekomendasi pimpinan pusat partai, serta ditandatangani ketua umum dan sekjen partai. Akibatnya, muncul ketergantungan pengurus wilayah dan cabang partai kepada pengurus pusat. Hal ini melahirkan peluang jual-beli surat rekomendasi yang harganya sangat tergantung ”basah” atau tidaknya daerah penyelenggara pilkada. Harga rekomendasi antara lain dibayar dimuka oleh para sponsor atau donatur yang beroperasi menjelang pilkada.
Politik uang dan korupsi juga difasilitasi oleh keharusan bagi parpol atau gabungan parpol untuk memiliki sekurang-kurangnya 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah hasil pemilu DPRD, atau 20 persen kursi di DPRD di daerah bersangkutan. Soalnya, sebagian besar parpol tak memenuhi syarat sebagai pengusung paslon jika tak bergabung atau berkoalisi dengan parpol lain. Masalah lebih besar dialami parpol yang menjadi poros koalisi pencalonan karena ternyata dukungan politik yang diperoleh dari partai-partai kecil dan menengah tidak gratis. Ada harga dukungan yang harus dibayar di muka. Jika bukan oleh paslon, biaya dukungan itu dibayar oleh sponsor atau donatur. Praktik ini dikenal sebagai masa ”panen raya” parpol menjelang pilkada.
Problem sistem pemilu
Di sisi lain, sistem pemilu legislatif yang menghasilkan anggota DPR dan DPRD yang korup memiliki problem serupa. Sistem pemilu, seperti halnya sistem pilkada, tidak mendorong parpol untuk melakukan seleksi atau pemilihan pendahuluan yang memungkinkan semua kader terbaik partai turut serta dalam kompetisi pemilu dan pilkada. Kerangka hukum pemilu dan pilkada langsung tidak membuka peluang yang sama bagi kader terbaik partai untuk jadi kandidat anggota legislatif ataupun paslon dalam pilkada. Seperti halnya paslon pilkada, para caleg pada umumnya para pesohor atau mereka yang memiliki cukup modal finansial untuk membeli dukungan melalui praktik vote buying yang kian marak sejak berlakunya sistem proporsional daftar terbuka dengan mekanisme suara terbanyak.
Hampir tidak ada standar kompetensi dan rekam jejak yang jelas bagi para caleg dan paslon kepala daerah. Ketika banyak pihak mempersoalkan passing grade seleksi calon pegawai negeri sipil yang terlampau tinggi, hampir tak ada seorang pun yang menggugat proses seleksi caleg dan paslon pilkada yang tak memiliki standar yang jelas. Ironisnya, tidak ada upaya serius parpol membenahi sistem perekrutan pejabat publik, baik di tingkat daerah maupun nasional. Siapa pun, asal populer, memiliki uang banyak atau punya sponsor, dan punya kedekatan personal dengan elite pimpinan partai, dapat jadi caleg pemilu ataupun paslon pilkada.
Padahal, untuk jadi pejabat publik yang memperoleh mandat elektoral, seseorang semestinya telah selesai dengan dirinya sendiri. Artinya, posisi sebagai anggota legislatif dan pimpinan eksekutif di daerah bukanlah sebuah profesi untuk mencari nafkah dan memperkaya diri. Sebaliknya, legislator dan penyelenggara pemerintahan di semua tingkat harus mereka yang memiliki komitmen luar biasa untuk membangun masyarakat dan lingkungan secara keberlanjutan, serta menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan kolektif.
Caleg pemilu dan paslon pilkada seharusnya hanya terbatas pada mereka yang sungguh-sungguh merasa ”terpanggil” untuk mengabdi dan mewakafkan sepenuh hidupnya untuk kebaikan bersama. Mekanisme uji publik yang transparan dan akuntabel bisa dilembagakan untuk menilai siapa sesungguhnya yang benar-benar memiliki kualifikasi ”terpanggil” sebagai penyelenggara pemerintahan yang bertanggung jawab, serta siapa pula ”pecundang” yang memanfaatkan kompetisi pemilu dan pilkada sekadar sebagai ajang perburuan rente.
Lompat pagar
Oleh karena itu, solusi atas politik uang dan korupsi para anggota DPR, DPRD, dan kepala daerah tidak cukup dengan membenahi sistem pemilu dan pilkada. Korupsi para pejabat publik dari parpol itu justru berakar pada tak adanya standar integritas yang berlaku dan diberlakukan bagi parpol dan politisi parpol. Tak ada standar etik yang memadai, baik bagi calon pejabat publik maupun unsur penyelenggara negara. Ada parpol yang telah memiliki standar etik dan mulai konsisten menegakkan, tetapi masih ada pula partai yang belum melembagakannya. Contoh mutakhir, Partai Amanat Nasional, misalnya, masih mempertahankan posisi Taufik Kurniawan sebagai wakil ketua DPR, padahal yang bersangkutan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Ketiadaan standar dan sistem yang baku juga tampak dalam perekrutan politik. Meskipun hampir semua parpol memiliki panduan internal dalam seleksi calon pejabat publik, tak ada verifikasi secara terbuka dan independen sejauh mana kandidat yang diusung parpol memenuhi syarat standar kompetensi, kapabilitas, dan integritas. Lebih jauh lagi, karena perekrutan politik tidak berbasis kaderisasi, perilaku para pejabat publik yang diusung parpol akhirnya tidak terkontrol dan di luar kendali partai masing-masing. Perekrutan yang serampangan ini pada gilirannya membuka peluang besar bagi para politisi untuk setiap saat ”lompat pagar” atau pindah parpol atas nama dinamika demokrasi.
Situasi ini kian diperburuk oleh dominannya syahwat liar kekuasaan politisi dan absennya komitmen ideologis dalam perilaku mereka, baik sebagai pejabat publik di lingkungan legislatif dan eksekutif maupun instansi pemerintahan lain. Ketiadaan standar integritas juga terlihat dalam tata kelola partai yang tak demokratis, seperti terlihat dalam fenomena Partai Demokrat, Gerindra, PDI Perjuangan, Nasdem, dan Hanura. Hampir semua keputusan strategis partai berada di tangan ketua umum yang sekaligus merupakan figur kuat, bahkan pendiri partai. Akibatnya, hampir tak ada ruang bagi kader berbeda pandangan dan pilihan politik dengan ketua umum partai. Realitas ini kemudian dimanfaatkan elite partai di sekitar sang ketua untuk memperdagangkan ”restu” dan rekomendasi pimpinan partai, baik kepada caleg dalam pileg maupun paslon dalam pilkada.
Perlu inisiatif pemerintah
Menunggu inisiatif perubahan dari para politisi dan elite parpol mungkin hampir mustahil. Elite partai yang berkuasa saat ini justru menikmati situasi buruk ini sebagai ”zona nyaman” bagi mereka. Bagi sebagian politisi, penangkapan oleh KPK melalui OTT atau penetapan rekan-rekan mereka sebagai tersangka korupsi hanyalah soal nasib yang sedang tidak berpihak. Artinya, potensi politik uang dan korupsi tampaknya melekat pada sistem pemilu, skema pilkada, dan sistem kepartaian yang berlaku saat ini. Dalam bahasa yang lain, berbagai elemen sistem politik yang dibenahi setiap jelang pemilu dan pilkada lebih memfasilitasi berlangsungnya korupsi ketimbang sebaliknya, yakni sebagai faktor pendorong tegaknya pemerintahan yang bersih.
Karena itu, perlu inisiatif perubahan dari pemerintah untuk lebih serius menata kembali UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Parpol menjadi suatu kerangka hukum yang antisipatif terhadap potensi politik uang dan korupsi. Dengan komitmen besar pemerintah, dukungan para ahli dan berbagai elemen masyarakat sipil, saya kira kerangka hukum antikorupsi seperti itu sangat mungkin untuk diwujudkan. Terlampau besar ongkos politik yang harus ditanggung bangsa ini jika sistem pemilu, skema pilkada, dan format kepartaian hanya memfasilitasi lahirnya pejabat publik korup yang pada akhirnya menggerus pencapaian demokrasi itu sendiri.
Syamsuddin Haris Guru Besar Riset LIPI