JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kesehatan berkomitmen untuk menjaga mutu pelayanan dengan mewajibkan akreditasi kepada semua rumah sakit yang bermitra dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Namun, belum ada sanksi hukum yang tegas jika rumah sakit tidak melakukan akreditasi.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan, meskipun tidak ada sanksi hukum yang mengikat, akreditasi rumah sakit wajib dilakukan. ”Ini terkait dengan mutu pelayanan yang akan berimplikasi pada keselamatan pasien, jadi harus dilakukan,” kata Nila setelah memberikan sambutan dalam pelantikan pengurus pusat Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) di Jakarta Pusat, Rabu (9/1/2010).
Sesuai dengan tiga pilar kesehatan, yakni paradigma sehat, penguatan pelayanan kesehatan, dan jaminan kesehatan nasional, pembangunan berwawasan kesehatan harus diarusutamakan. Untuk itu, Nila tidak setuju dengan pemutusan layanan kesehatan karena akreditasi.
Nila mengimbau, sejumlah 314 rumah sakit yang pada hari ini telah berkomitmen melakukan akreditasi benar-benar mematuhi komitmennya. Jika tidak, rumah sakit tersebut akan kehilangan kesempatan untuk bermitra dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Bambang Wibowo mengatakan, hingga saat ini baru 80 persen atau sekitar 1.970 rumah sakit yang terakreditasi. Ia terus mendorong rumah sakit yang belum terakreditasi untuk segera mendaftarkan diri.
Penyebab terbesar tidak lolosnya rumah sakit pada saat akreditasi, menurut Bambang, adalah masalah administrasi, masalah sarana, dan masalah pembiayaan.
”Paling banyak administrasi yaitu 60 persen, kemudian sarana 7 persen dan pembiayaan sekitar 3 persen,” imbuh Bambang.
Menurut Bambang, masalah administrasi yang paling banyak dialami adalah tidak diperbaruinya surat izin operasional dan dokter tidak punya surat izin praktik. Sementara permasalahan sarana paling banyak terjadi karena bangunan rumah sakit sedang direnovasi.
Ketua Umum Persi Kuntjoro Adi Purjanto mengimbau semua anggotanya yang belum melakukan akreditasi untuk mendaftarkan diri. Pengurus Persi akan mendampingi dan membantu mempersiapkan akreditasi sebab akreditasi juga dipandang perlu oleh Persi.
”Kalau ada banyak kerja sama antara rumah sakit dan BPJS Kesehatan yang tidak diperpanjang, kita harus berani mengevaluasi diri. Kita harus bedah apa masalahnya dan kita cari apa solusinya,” kata Kuntjoro.
Kuntjoro berujar, persoalan terkait rumah sakit tidak menerima pasien Jaminan Kesehatan Nasional karena keterlambatan klaim BPJS Kesehatan ini sudah sering kali terjadi. Menurut dia, sudah banyak juga solusi dan alternatif yang ditawarkan oleh para ahli.
”Menyangkut isu ini, saya berharap semoga Kompartemen Bina Pembiayaan bisa mengatasi persoalan ini. Solusi keterlambatan klaim ini harusnya tidak hanya mengandalkan kebijakan suprasistem, tetapi juga harus ada alternatif solusi yang konkret,” tutur Kuntjoro.
Jangan berpolitik praktis
Kuntjoro dalam sambutannya pada pelantikan pengurus Persi meminta anggotanya untuk tidak memasuki wilayah politik praktis. Namun, ia mengingatkan agar anggotanya terus mencermati hasil pemilu sebab hasil pemilu memengaruhi arah manajemen pengelolaan kerumahsakitan.
”Kita harus mampu merespons dengan baik isu terkini, termasuk yang menyangkut dengan reputasi rumah sakit,” tambah Kuntjoro.
Ia mencontohkan, permasalahan tersebut antara lain terkait dengan selang transfusi darah yang dipakai hingga 40 kali, terkait keterlambatan pembayaran klaim BPJS Kesehatan dan keterlambatan akreditasi rumah sakit. (KRISTI DWI UTAMI)