BIREUEN, KOMPAS — Sebanyak 29 imigran Rohingya, Myanmar, kabur dari barak penampungan di Kabupaten Bireuen, Aceh. Pemerintah Provinsi Aceh meminta para pihak terlibat penuh menangani imigran di provinsi itu.
Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Lhokseumawe Safrizal, Kamis (10/1/2019), mengatakan, saat ini sisa imigran Rohingya di barak penampungan sebanyak 50 orang. ”Kami berusaha mencari imigran yang kabur, tetapi tidak mudah untuk menemukan mereka,” kata Safrizal.
Pelarian para imigran itu terjadi tiga kali. Pertama pada 12 Desember 2018, kemudian 24 Desember 2018, dan 8 Januari 2019. Jumlah imigran yang kabur 29 orang.
Sejak kejadian pertama imigran kabur, kata Safrizal, pihaknya telah meningkatkan pengawasan, tetapi imigran tetap bisa lolos. ”Mereka lari waktu subuh. Tempat penampungan terbuka, sangat mudah untuk kabur,” katanya.
Sebanyak 79 imigran etnis Rohingya terdampar di pantai Bireuen pada 21 April 2018. Sejak saat itu mereka ditampung di Sanggar Kegiatan Bersama Kabupaten Bireuen. Menurut rencana, mereka akan ditempatkan ke negara ketiga yang menerima imigran.
Setiap bulan kami harus menganggarkan Rp 100 juta dan ini tentu sangat membebani anggaran kami.
Namun, kata Safrizal, setelah hampir setahun belum ada kabar kapan imigran itu akan dibawa ke negara ketiga. ”Masih menunggu kabar dari negara ketiga, seperti Kanada, Italia, dan Australia,” katanya. Para imigran itu juga tidak ingin berlama-lama di Aceh sebab mereka ingin mencari penghidupan yang baik.
Kepala Dinas Sosial Aceh Alhudri mengatakan, keberadaan imigran dalam waktu lama membebani pemerintah daerah, baik secara moral maupun anggaran. Ia berharap pemerintah pusat dan lembaga terkait lain terlibat penuh menangani.
”Padahal, kita sudah berulang kali menyurati kementerian terkait, tetapi hingga saat ini belum ada respons apa pun,” ujar Alhudri.
Sesuai ketentuan, kata Alhudri, penanganan masyarakat luar negeri yang terdampar di suatu negara seperti warga Rohingya yang terdampar di Aceh adalah tanggung jawab Kementerian Hukum dan HAM melalui keimigrasian dan organisasi internasional yang menangani pengungsi.
”Kami sebenarnya tidak punya kewenangan apa pun. Apalagi kami tidak ada dana untuk pembiayaan makan dan kebutuhan mereka. Jika pun ada, itu hanya karena tuntutan kemanusiaan,” kata Alhudri. Pemerintah pusat dan lembaga internasional yang menangani pengungsi diharapkan mengambil langkah konkrit terhadap keberadaan imigran Rohingya di Aceh.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Bireuen Murdani berharap pemerintah pusat tidak tinggal diam. Pemkab Bireuen menghabiskan anggaran besar untuk memenuhi kebutuhan imigran, seperti makan, air, listrik, dan kesehatan. ”Setiap bulan kami harus menganggarkan Rp 100 juta dan ini tentu sangat membebani anggaran kami,” ujar Murdani.