JAKARTA, KOMPAS — Validitas laporan sumbangan dana kampanye atau LPSDK yang diserahkan peserta pemilu pada 2 Januari 2019 tidak sepenuhnya bisa dijadikan acuan tentang uang masuk dan keluar yang digunakan peserta Pemilu 2019. Kendati tingkat kepatuhan calon anggota legislatif dan partai politik relatif tinggi, kebenaran tentang angka atau jumlah dana kampanye yang mereka laporkan belum bisa divalidasi lantaran mekanisme pelaporan dan pengawasan belum menyentuh aspek tersebut.
Hasil pengawasan Bawaslu terhadap LPSDK yang dirilis Rabu (9/1/2019) menunjukkan adanya tingkat kepatuhan yang tinggi dalam memenuhi mekanisme tersebut. Dari 8.077 calon peserta pemilu, 7.028 orang di antaranya melaporkan dana kampanye, atau sekitar 87 persen dari total peserta pemilu. Dari jumlah total peserta pemilu, 3.033 orang di antaranya tercatat memberikan sumbangan dana kampanye atau sekitar 38 persen.
Total sumbangan parpol dalam LPSDK sebesar Rp 427.151.379 dengan sumbangan dalam bentuk uang Rp 161.179.838.907 (38 persen), barang senilai Rp 64.040.685.170 (15 persen), dan bentuk jasa Rp 201.931.227.302 (47 persen). Total sumbangan calon presiden dan wakil presiden sebesar Rp 98.137.088.368. Rinciannya, sumbangan dalam bentuk uang Rp 49.771.688.667 (51 persen), bentuk barang Rp 8.313.479.678 (8 persen), dan bentuk jasa senilai Rp 40.051.920.018 (41 persen).
Anggota Bawaslu, Mochammad Afifuddin, Rabu di Jakarta, mengatakan, laporan dana kampanye itu berusaha divalidasi saat dilakukannya pengecekan terhadap laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK). LPPDK itu akan diserahkan pada 14 hari sebelum jadwal rapat kampanye umum. ”Nanti pengecekan dilakukan dengan membandingkan antara dana kampanye yang dilaporkan dan dana kampanye yang dikeluarkan,” ujarnya.
Upaya validasi itu perlu dilakukan karena dalam laporan dana kampanye yang diterima KPU dan dianalisis hasilnya oleh Bawaslu, banyak caleg yang tidak mengisi laporan itu dengan benar. Beberapa bahkan mengisi laporannya dengan nol.
Kalau tingkat kepatuhan pelaporan dana kampanye memang relatif tinggi, tetapi banyak dari laporan itu yang hanya diisi dengan angka nol. Kebenaran tentang laporan ini perlu dicek kembali saat penyerahan LPPDK.
Afifuddin mengatakan, dana kampanye adalah bagian penting bagi peserta pemilu karena menjadi modal dari penyelenggaraan kampanye dan penyampaian visi-misi mereka kepada publik. ”Upaya untuk mendalami dan mempelajari penerimaan dan pengeluaran dana kampanye dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan di bilik suara,” ujarnya.
Tingginya tingkat kepatuhan peserta pemilu dalam menyerahkan laporan dana kampanye juga dibenarkan KPU. Anggota KPU, Hasyim Asy’ari, mengatakan, dari data yang diterima KPU, terlihat jumlah caleg yang menyerahkan laporan dan jumlah caleg yang tidak menyerahkan laporan.
”Nanti mengenai kebenaran soal laporan dana kampanye itu akan diaudit kantor akuntan publik yang ditentukan KPU,” ujar Hasyim.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, tingkat kepatuhan pelaporan dana kampanye itu tidak linear dengan kejujuran mereka dalam menyampaikan angka-angka di dalam laporan tersebut. Sayangnya, upaya pengawasan terhadap kebenaran atau validasi laporan itu juga tidak bisa dilakukan secara optimal lantaran regulasi yang ada selama ini tidak mengatur mengenai mekanisme pengawasan yang detail.
”Dana kampanye itu sebuah isu krusial, tetapi tidak menjadi prioritas dari peserta pemilu. Dana kampanye masih ditempatkan sebagai formalitas dalam pelaksanaan kampanye, dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang substantif dan strategis. Sebab, dari sisi aturan LPSDK tidak diatur di dalam UU Pemilu, tetapi di dalam peraturan KPU,” katanya.
Laporan yang tidak sungguh-sungguh, antara lain, melalui pencantuman angka yang tidak valid, menurut Titi, menunjukkan rendahnya komitmen peserta pemilu terhadap mekanisme pelaporan dana kampanye. Pelaporan itu hanya untuk menggugurkan kewajiban mereka. Padahal, idealnya melalui pelaporan itu bisa diketahui sumber pendanaan kampanye peserta pemilu, yang bisa berujung pada perbaikan akuntabilitas pemilu.
Di sisi lain, pengawasan atau pengecekan oleh Bawaslu terhadap LPSDK hanya bisa dilakukan sebatas tingkat kepatuhan dan rincian nominalnya. Pengawasan itu masih sebatas kepatuhan administratif, dan tidak sampai menyentuh kebenaran angka dana kampanye yang dilaporkan ataupun kelayakan pihak penyumbang.
Titi mengatakan, tidak adanya pengawasan yang serius dan ketat terhadap pengawasan dana kampanye berisiko tinggi bagi pelaksanaan pemilu. ”Kita menjadi tidak bisa mengendalikan penggunaan dana-dana ilegal dalam praktik pemilu. Selama ini kita mengupayakan agar pemilu bersih dari dana ilegal dan pengaruh investor politik yang mengendalikan politik elektoral kita. Sayangnya, mekanisme pengawasan itu belum diatur di dalam UU Pemilu,” katanya.