Divestasi Freeport Agar Dorong Pemulihan Lingkungan
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Divestasi PT Freeport Indonesia agar bisa membawa perbaikan bagi pemulihan lingkungan di wilayah pertambangannya di Mimika, Papua. Permasalahan utama saat ini adalah jumlah tailing atau lumpur sisa tambang yang sangat besar dan berkorelasi dengan dampak penempatannya bagi sungai yang dilintasi dan pesisir.
Hal itu untuk membuktikan sanksi administratif maupun peninjauan ulang operasional Freeport yang dilakukan pemerintah bukan semata-mata untuk kelancaran negosiasi divestasi. Upaya perbaikan dan pemulihan lingkungan pun agar dilakukan terbuka dan perkembangannya bisa diikuti publik.
“Bila pemerintah setelah mendapatkan porsi 51 persen itu menurunkan standar (kualitas lingkungan), berarti rentetan pemberian sanksi adalah bagian strategi mengakuisisi 51 persen itu,” kata Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Rabu (9/1/2019) di Jakarta.
Bila pemerintah setelah mendapatkan porsi 51 persen itu menurunkan standar (kualitas lingkungan), berarti rentetan pemberian sanksi adalah bagian strategi mengakuisisi 51 persen itu.
Di sela-sela Catatan Awal Tahun 2019 ICEL itu, ia mengharapkan agar proses divestasi tak hanya untuk mengejar keuntungan ekonomi. Tak kalah penting, divestasi juga membawa perlindungan lingkungan bagi Papua beserta isu-isu sosial terkait.
Secara terpisah, Ketua Tim Pengendalian Penyelesaian Permasalahan Lingkungan PT Freeport Indonesia di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ilyas Asaad mengatakan langkah perbaikan pengelolaan lingkungan yang dilakukan KLHK tak terkait divestasi. “Ini dimulai sejak tahun 2017, setelah ada audit BPK (terhadap PT Freeport Indonesia),” ujarnya.
Saat itu KLHK menerjunkan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum untuk menginventarisasi masalah. Dari 48 masalah, KLHK menerbitkan sanksi administratif berisi sejumlah paksaan pemerintah. Itu diselesaikan Freeport dengan memperbaiki Amdal melalui Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup.
Permasalahan lingkungan saat ini berupa dampak tailing pada kandungan zat padat terlarut (TSS) yang amat tinggi. Hal itu diberi rambu-rambu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan menerbitkan SK 175/2018 yang diantaranya mencabut SK 431/2008.
Untuk mencapai target yang ditentukan SK 175, KLHK menerbitkan SK 594/2018 tentang Pelaksanaan Peta Jalan Pengelolaan Tailing PT Freeport Indonesia Di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Peta jalan 2019-2024 itu bertujuan menurunkan TSS pada ModADa (Modified Ajkwa Deposition Area) seluas 230 kilometer persegi.
Freeport diminta memikirkan penanganan material di hulu (area tambang dan Wanagon), ModADA a, dan hilir serta pemanfaatan tailing. Dari sisi lingkungan, Freeport pun diperintahkan melakukan studi perlindungan ekosistem pada estuari dan ModADA serta studi tanggul melintang (cross leeve). Studi ini diharapkan selesai tahun ini.
Ilyas menegaskan KLHK tak pernah mencabut SK 175. Justru KLHK menerbitkan SK 594 sebagai rambu-rambu untuk menuju target dalam SK 175.
Namun diakui, masalah lingkungan Freeport kompleks karena tailing yang dihasilkan amat besar, mencapai 160.000 ton per hari. Terkait dampak pada sungai setempat, hal itu menjadi kebijakan melalui penerbitan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 55 tahun 1997 tentang Persetujuan Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) Regional, Rencana Perluasan Kegiatan Penambangan Tembaga dan Emas Serta Kegiatan Pendukungnya Hingga Kapasitas Maksimum 300.000 Ton Per Hari di Kabupaten Administratif Mimika Propinsi Irian Jaya oleh PT. Freeport Indonesia (dikenal dengan Amdal 300K).
Lokasi penggunaan sungai sebagai area pengaliran tailing disetujui pemerintah daerah melalui Surat Keputusan Gubernur Provinsi Irian Jaya No 540/2102/SET tentang ijin Pemanfaatan Sungai Aghawagon, Sungai Otomona, Sungai Ajkwa dan Sungai Minajerwi untuk penyaluran limbah pertambangan dan Surat Keputusan Bupati Mimika No 4 Tahun 2005 tentang Penetapan Peruntukan dan Pemanfaatan Sungai Aghawagon, Otomona, dan Ajkwa di Kabupaten Mimika.
"Dengan demikian penggunaan sungai serta area seluas 230 kilometer persegi (ModADA) telah diperhitungkan sejak awal sebagai tempat penampungan tailing," imbuh dia yang juga Inspektur Jenderal KLHK.