Komitmen DPR ditunggu untuk menghentikan perkawinan anak di Tanah Air. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus segera direvisi.
JAKARTA, KOMPAS – Dewan Perwakilan Rakyat menjadi tumpuan harapan untuk perubahan atau revisi Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mensyaratkan usia minimal perempuan menikah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Komitmen DPR untuk menghentikan perkawinan anak di Tanah Air harus direalisasikan secepatnya sehingga menjadi warisan atau legacy kepada rakyat Indonesia.
Perubahan tersebut diharapkan berlangsung secepatnya, sebelum periode anggota DPR tahun 2014-2019 berakhir. Hal ini sejalan dengan pidato Ketua DPR pada Rapat Paripurna Pembukaan Masa Sidang 2018-2019, 7 Januari 2019, yang mengingatkan semua anggota DPR untuk memprioritaskan amandemen undang-undang yang diamanatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kami sangat berharap sebelum masa bakti anggota DPR berakhir, sudah terjadi perubahan. Kami percaya, suara para perempuan di parlemen sangat menentukan. Karena kalau sudah ganti lagi anggota DPR yang baru, persoalan undang-undang perkawinan akan semakin banyak,” ujar Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartikasari pada pernyataan pers “Perempuan Parlemen Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi untuk Pencegahan dan Penghentian Perkawinan Anak”, Rabu (9/1/2019), di Media Center DPR, Senayan, Jakarta.
Pernyataan pers yang digagas KPI tersebut dihadiri GKR Hemas (Ketua Presidium Nasinal Kaukus Perempuan Parlemen) dan sejumlah perempuan anggota DPR, yakni Hetifah (Partai Golkar), Irma Suryani Chaniago (Partai Nasdem), Diah Pitaloka (PDIP), Nihayatul Wafiroh (PKB). Hadir juga Yuda Irlang Kusumaningsih dari Maju Perempuan Indonesia (MPI), Titi Anggraeni (Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi/Perludem), dan Anggara Suwahju (Koalisi 18+).
Langkah cepat
KPI bersama Koalisi 18+ mendampingi para pemohon uji materi Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. “Kami mengapresiasi pidato Ketua DPR dan siap memberikan dukungan kepada Komisi VIII DPR agar segera mengajukan perubahan undang-undang tersebut,” ujar Dian.
Menurut Titi, DPR bisa mengambil langkah cepat untuk melakukan revisi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, apalagi yang akan direvisi hanya satu pasal, yakni Pasal 7 saja. Proses perubahan UU secara cepat pernah dilakukan oleh DPR, seperti yang dilakukan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3).
Seperti diberitakan, MK dalam putusan yang dibacakan pada 13 Desember 2018 memutuskan bahwa perkawinan anak, khususnya perempuan berusia 16 tahun bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mensyaratkan usia minimal perempuan menikah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun dinilai diskriminatif.
Adapun Pasal 7 ayat (1) berbunyi “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Dalam putusannya, MK memerintahkan pembentuk UU dalam jangka waktu tiga tahun mengubah UU tersebut.
GKR Hemas bersama perempuan anggota DPR mendukung perubahan Pasal 7 UU tersebut. Hemas berharap pencegahan perkawinan anak harus dilakukan semua pihak, pemerintah dan masyarakat harus bersinergi. “Seluruh pemangku kebijakan harus memahami pentingnya pencegahan perkawinan anak,” kata Hemas.
Diah Pitaloka dan Hetifah menyatakan siap menindaklanjuti harapan KPI kepada DPR agar segera mengajukan proses perubahan Pasal 7 UU tersebut, supaya segera dibahas DPR.
Anggara mengungkapkan lega dengan putusan MK yang menerima permohonan uji materi atas Pasal 7 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974. Sebab, perjuangan perempuan untuk menghentikan perkawinan anak sudah disuarakan sejak Kongres Perempuan Indonesia yang pertama. “Setidaknya, secara hukum dinyatakan perbedaan umur adalah hal yang diskriminatif,” kata Anggara.