JAKARTA, KOMPAS— Komisi Pengawas Persaingan Usaha beserta penegak hukum didorong untuk turut mengawasi pengadaan obat antiretroviral yang digunakan orang dengan HIV/AIDS, terutama obat dengan jenis TLE atau kombinasi tenofovir, lamivudine, dan efavirenz. Harga yang selama ini dijual kepada pemerintah dinilai jauh lebih mahal hingga 300 persen dibandingkan dengan harga internasional.
Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC) Aditya Wardhana di Jakarta, Kamis (10/1/2019), menyampaikan, obat antiretroviral (ARV) jenis TLE yang dijual ke pemerintah selama ini lebih mahal 200 persen-300 persen dari harga internasional. Obat serupa di pasar internasional dipasarkan dengan harga Rp 112.000, sementara obat yang dibeli pemerintah mencapai Rp 404.370.
“Harga ini tentu menjadi tidak efisien dan menyebabkan pemborosan uang negara. Jika digunakan untuk menambah cakupan penyediaan obat, potensinya bisa untuk menambah kebutuhan ODHA (orang dengan HIV/AIDS) sebanyak 200.000 orang,” ujarnya.
Obat ARV jenis TLE diproduksi perusahaan farmasi di India yang kemudian dipasarkan di Indonesia melalui PT Kimia Farma (Persero) Tbk. Sejak Juli 2018, PT Indofarma Global Medika, anak perusahaan PT Indofarma (Persero) Tbk, mendapatkan hak menjual obat jenis tersebut setelah rekanannya mendapat ijin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Keduanya merupakan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Namun, tambah Aditya, proses pengadaan obat ARV jenis TLE pada akhir 2018 lalu mengalami kegagalan. Ia menduga, gagalnya tender pengadaan obat tersebut disebabkan harga perkiraan sendiri (HPS) yang ditetapkan Kementerian Kesehatan dinilai terlalu rendah oleh Kimia Farma dan Indofarma.
Kondisi ini membuat dana APBN 2018 yang sudah dialokasikan untuk membeli obat harus dikembalikan ke kas negara. Sejumlah ODHA pun khawatir, ketersediaan obat jenis TLE akan terancam.
Saat dimintai konfirmasi terkait hal ini, Sekretaris Perusahaan Kimia Farma Ganti Winarno menjawab, "Saya sedang kumpulkan informasi terlebih dahulu."
Biaya tinggi
Untuk itulah, IAC mendorong Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan penegak hukum lain turut mengawai jalannya pengadaan obat ARV di masa mendatang. Tujuannya, biaya tinggi yang selama ini terjadi bisa diatasi. Selain itu, pemerintah pun diharapkan bisa mendorong pabrikan lain untuk ikut terlibat dalam proses pengadaan obat ARV agar tercipta iklum kompetisi yang sehat.
Presiden Joko Widodo pun diharapkan memanggil Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, serta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk mendorong Kimia Farma dan Indofarma agar mau mengikuti lelang terbatas di Kemenkes. Dua BUMN tersebut juga diminta menurunkan harga jual obat untuk ODHA.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, sampai Agustus 2018 ada 43.586 ODHA yang mengonsumsi ARV jenis TLE atau 42 persen dari total ODHA yang mengonsumsi ARV. Dalam Rencana Aksi Nasional menjalankan strategi 90-90-90, artinya 90 persen ODHA tahu statusnya, 90 persen dari mereka yang tahu statusnya berada dalam perawatan ataupun pengobatan, dan 90 persen dari mereka yang berada dalam pengobatan menekan penularan virus. Epidemi HIV di Indonesia pun ditargetkan berhenti pada 2030.
Staf Komunitas ARV Koalisi AIDS Indonesia, Ria Pangayow, mengatakan, jika permasalahan pengadaan obat ARV jenis TLE tidak segera diatasi, target yang ditetapkan pemerintah tersebut sulit tercapai. Angka kematian akibat AIDS di Indonesia justru terus meningkat.
Kasus kematian akibat AIDS tercatat sebanyak 45.090 orang tahun 2018, naik dari 42.921 orang tahun 2017. Apabila tidak ada intervensi serius dari pemerintah, tingkat kematian akibat AIDS diperkirakan bisa mencapai 48.083 orang tahun 2020.
“Kekosongan stok TLE sebenarnya sudah terjadi sejak Agustus 2018. Bahkan, pada November 2018, stok obat di sejumlah kota kosong, seperti di Medan, Deli Serdang, dan Makasar. Baru pada Desember sampai Januari ini stok mulai membaik,” katanya.
Stok terjaga
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Engko Sosialine Magdalene menyebutkan, harga ARV jenis TLE yang lebih mahal dari harga internasional bisa disebabkan karena kuantitas pembelian di Indonesia tidak sebanyak yang dibeli pihak luar negeri. “Sebaiknya, saat ini masyarakat tidak perlu khawatir soal harga ini. Pada prinsipnya, Kemenkes tetap memastikan stok obat tetap terjaga,” ucapnya.
Berdasarkan data Kemenkes, saat ini diperkirakan ada 640.000 orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia, 300.000 orang di antaranya mengetahui statusnya, dan 90.000 orang menjalani terapi antiretroviral (ARV). Dari jumlah itu, 48 persennya berobat dengan ARV jenis TLE.