Jaksa Agung: Berkas Komnas HAM Tak Mengandung Cukup Bukti
Oleh
Madina Nusrat
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu terganjal di proses penyidikan. Kejaksaan RI menilai berkas penyelidikan yang diserahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tak berisi cukup bukti untuk dijadikan dasar penyidikan.
Jaksa Agung HM Prasetyo menilai penyelesaian nonyudisial atau rekonsiliasi merupakan pilihan terbaik yang bisa diambil saat ini. ”Sampai sekarang tidak ada bukti yang bisa dijadikan dasar melanjutkan tujuh kasus pelanggaran HAM masa lalu yang masih tersisa ke proses penyidikan,” katanya di Jakarta, Rabu (9/1/2019).
Prasetyo mengatakan, Komnas HAM mulai melakukan penyelidikan pelanggaran HAM berat masa lalu sejak 2007. Tiga kasus pelanggaran HAM berat telah selesai diputuskan, yaitu kasus Timor Timur (1999), kasus Tanjung Priok (1984), dan kasus Abepura (2003).
Saat ini, menurut Prasetyo, setidaknya tersisa tujuh kasus pelanggaran HAM berat yang belum diputuskan. Merujuk pada ketentuan hukum acara yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, pengumpulan bukti menjadi tanggung jawab Kejagung sebagai penyidik.
Data Litbang Kompas menunjukkan, ketujuh kasus itu adalah pembunuhan massal (1965), penembakan misterius (1982-1985), peristiwa Talangsari (1989), penembakan mahasiswa Trisakti (1998), kerusuhan Mei (1998), tragedi Semanggi I (1998), dan kekerasan aparat terhadap mahasiswa (1999).
”Hasil penyelidikan Komnas HAM terhadap ketujuh kasus itu ternyata dinilai jaksa belum dapat menunjukkan bukti yang cukup. Oleh karena itu, saya berpendapat, kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu akan lebih tepat diselesaikan melalui pendekatan nonyudisial atau rekonsiliasi,” ujar Prasetyo.
Prasetyo berkeras, penyelesaian melalui jalur nonyudisial itu dimungkinkan oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Pasal 47 dalam undang-undang tersebut menyebutkan, penyelesaian pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang itu tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyatakan, jika berkas itu tidak dinilai mengandung cukup bukti, seharusnya jaksa bisa melengkapinya saat proses penyidikan.
Sebelumnya, kejaksaan sempat mengembalikan berkas penyelidikan tersebut kepada Komnas HAM karena dianggap kurang bukti. Pada Desember 2018, berkas itu pun dikirim ulang Komnas HAM kepada kejaksaan.
Taufan mengakui, berkas ketujuh kasus pelanggaran HAM itu tidak direvisi. ”Itu merupakan hasil maksimal dari wewenang kami sebagai penyelidik. Adapun tambahan bukti yang diminta itu, menurut kami, semestinya menjadi tugas penyidik,” katanya.
Prasetyo menilai sebaliknya bahwa Komnas HAM tak mematuhi jaksa. ”Terakhir Komnas HAM mengembalikan berkasnya kepada kami, tetapi mereka sama sekali tidak berusaha mematuhi petunjuk jaksa,” katanya.
Prasetyo menganggap tanggung jawab kejaksaan atas ketujuh kasus pelanggaran HAM itu adalah beban dosa masa lalu yang kini harus mereka tanggung.
Prasetyo berkeras, penyelesaian melalui jalur nonyudisial itu dimungkinkan oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Pasal 47 dalam undang-undang tersebut menyebutkan, penyelesaian pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang itu tidak menutup kemungkinan dilakukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. (PANDU WIYOGA)