PONTIANAK, KOMPAS – Sungai terpanjang di Indonesia, yakni Sungai Kapuas di Kalimantan Barat kini kian memprihatinkan. Sudah puluhan tahun sungai itu tercemar limbah pertambangan, perkebunan, serta berbagai sampah rumah tangga. Kapuas mendesak untuk diselamatkan.
Limbah Sungai Kapuas mengalir pula ke anak-anak sungainya. Jutaan hektar daerah aliran Kapuas pun kritis. Pantauan Kompas, dalam beberapa kesempatan saat menyusuri tepi Sungai Kapuas, pencemaran Sungai Kapuas sudah dimulai dari hulu.
Di daerah hulu terdapat pertambangan emas. Di Kabupaten Kapuas Hulu, banyak didapati motor air yang merupakan kendaraan para petambang. Di tepi-tepi Sungai Kapuas aktivitas pertambangan mudah ditemui. Limbah pertambangan itu langsung dibuang ke Sungai Kapuas. Akhirnya, air Sungai Kapuas berwarna kecoklatan.
Masyarakat di hulu Sungai Kapuas yang menambang emas adalah masyarakat yang masih terisolasi. Di sana belum ada akses jalan darat yang memadai untuk ke ibu kota kabupaten. Sungai menjadi jalan satu-satunya, namun memakan waktu 4 jam dan menghabiskan banyak bahan bakar. Jika dikalkulasi biaya perjalanan bisa mencapai Rp 2-4 juta pergi-pulang. Belum lagi, risikonya tinggi karena arus yang deras.
Dengan kondisi medan perjalanan seperti itu, warga tak mungkin menanam sayuran untuk dijual ke kota. Hasil penjualan tidak bisa menutup biaya transportasi mereka. Namun, jika mereka menjual emas, hasil penjualan emas setelah dipotong biaya transportasi, mereka masih bisa mendapatkan uang untuk disimpan.
Pencemaran Sungai Kapuas pun terjadi di sepanjang kabupaten yang dilintasinya, mulai dari Kabupaten Kapuas Hulu, Sintang, Sekadau, Sanggau hingga ke Kota Pontianak. Di sepanjang bantaran sungai selalu ada aktivitas warga baik pertambangan, limbah perkebunan, dan sampah rumah tangga yang mencemari Sungai Kapuas.
Kondisi itu bahkan membuat daerah aliran sungai (DAS) Kapuas menjadi kritis. Data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, ada 10 juta hektar lahan di DAS Kapuas, dan jutaan hektar lahan di antaranya dalam kondisi kritis.
Kritisnya DAS Kapuas berdampak pada 1,7 juta penduduk di kabupaten/kota yang dilintasi Sungai Kapuas. Air sungai yang awalnya digunakan sebagai sumber air bersih, perikanan, dan transportasi lambat-laun tidak dapat diandalkan karena tingginya tingkat pencemaran dan terjadinya pendangkalan.
Bahkan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Perumahan Rakyat Provinsi Kalbar Adi Yani, Kamis (10/1/2019), mengatakan, kualitas air Sungai Kapuas yang melintasi Kabupaten Sanggau, Sekadau, Sintang, Kapuas Hulu, dan Kota Pontianak itu di bawah standar baku mutu. “Di banyak titik sepanjang Kapuas tercemar limbah perkebunan dan pertambangan emas ilegal,” ujarnya.
Kualitas air Kapuas masuk pada kelas tiga yang artinya perlu perlakuan khusus jika ingin dikonsumsi. Air sungai harus melalui proses pemurnian terlebih dulu. Sungai Kapuas hingga kini masih dimanfaatkan sebagai air konsumsi masyarakat melalui perusahaan daerah air minum.
Direktur Eksekutif Walhi Kalbar Anton Widjaya, mengatakan, Sungai Kapuas memang sudah kritis dan mendesak untuk dipulihkan. Perlu penegakan hukum terhadap pemilik izin perkebunan maupun pertambangan di tepi Sungai Kapuas agar ada efek jera. Kemudian, perlu ada tekanan kepada pemilik izin agar ikut berkontribusi dalam memelihara Sungai Kapuas.
Strategi lainnya untuk memulihkan Kapuas, bisa dengan merevitalisasi budaya sungai, yakni budaya yang menghargai sungai yang kini tidak ada lagi. Padahal, semasa Sungai Kapuas masih memegang peranan penting sebagai urat nadi dalam perdagangan dan teransportasi, budaya menjaga sungai masih sangat dipegang teguh.