JAKARTA, KOMPAS – Penyelesaian sembilan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat masa lalu terancam tertunda lagi. Hal ini ditandai dengan berlarut-larutnya pemberkasan kasus antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Sebagian kalangan menganggap komitmen pemerintah memberikan keadilan kepada korban masih rendah.
Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam, mengatakan, wewenang dan tanggung jawab Komnas HAM sebagai penyelidik adalah menentukan suatu peristiwa merupakan pelanggaran HAM berat atau bukan. “Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat bukan soal sistem hukum, melainkan soal komitmen dan kemauan,” ujarnya, di Jakarta, Kamis (10/1/2019).
Sebelumnya, pada Rabu (9/1/2019), Jaksa Agung M Prasetyo, menawarkan, penyelesaian non yudisial atau rekonsiliasi untuk merampungkan sembilan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu. “Terakhir, Komnas HAM mengembalikan berkasnya kepada kami, tetapi mereka sama sekali tidak berusaha mematuhi petunjuk jaksa,” katanya.
Pada 27 November 2018, Kejaksaan Agung mengembalikan sembilan berkas pelanggaran HAM berat masa lalu kepada Komnas HAM. Sebulan kemudian, tepatnya pada 27 Desember 2018, Komnas HAM balik mengirimkan lagi sembilan berkas itu kepada Kejaksaan Agung.
Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Eksternal Sandrayati Moniaga, mengatakan, berkas pelanggaran HAM berat itu sekian kali bolak-balik sejak selesai disusun pada 2003. Menurut dia, penyebabnya adalah perbedaan tafsir dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang tugas dan wewenang Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
“Perbedaan tafsir itu seharusnya tidak menunda pemberian keadilan bagi para korban,” ujar Sandra. Ia menyarankan pada Kejaksaan Agung agar tidak merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, melainkan menggunakan UU Nomor 26 Tahun 2000 untuk membedakan tugas dan wewang penyelidik dan penyidik dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.
Standar sama
Tindakan Kejaksaan Agung mengembalikan sembilan berkas kasus itu dinilai aneh oleh Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara. Ia menyatakan, standar penyelidikan tiga berkas kasus pelanggaran HAM berat yang sebelumnya telah berhasil diputuskan sama persis dengan berkas sembilan kasus yang belakangan dinilai kurang bukti.
Tiga kasus pelanggaran HAM berat yang telah berhasil diputuskan itu adalah, kasus Timor-Timur (1999), kasus Tanjung Priok (1984), dan kasus Abepura (2003). Pemberkasan tiga kasus itu dilakukan Komnas HAM pada 2003 bersamaan dengan pemberkasa tujuh kasus lainnya.
Tujuh kasus yang dimaksud itu adalah, pembunuhan massal (1965), penembakan misterius (1982-1985), peristiwa Talangsari (1989), penembakan Mahasiswa Trisakti (1998), kerusuhan Mei (1998), tragedi Semanggi I (1998), dan kekerasan aparat terhadap mahasiswa (1999).
Belakangan, Komnas Ham juga menyerahkan dua berkas kasus tambahan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh, yaitu peristiwa Rumah Geudong (1998) dan peristiwa Simpang KAA (1999). Maka, totalnya saat ini ada sembilan berkas kasus pelanggaran HAM berat yang menjadi bola panas antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
Sementara itu, Komisioner Mediasi Komnas HAM, Munafrizal Manan, mengatakan, Presiden Jokowi perlu angkat bicara tentang tindakan Kejaksaan Agung mengembalikan berkas itu. “Tindakan itu memberi kesan Jaksa Agung tidak menjankan komitmen Presiden dengan maksimal,” ujarnya.