Lampu Kuning Partisipasi Pemilih
Di tengah kampanye Pemilihan Umum 2019 yang minim substansi, marak hoaks dan disinformasi, serta berkembangnya ekspresi kekecewaan terhadap elite politik, ada potensi pemilih mengambang yang belum yakin pada para kandidat tidak menggunakan hak pilihnya. Peningkatan angka golongan putih atau golput pun diprediksi akan membayangi.
Ifan (35), warga asal Garut, Jawa Barat, menggelengkan kepalanya sambil berdecak. “Datangnya cuma lima tahun sekali, tapi yang ditawarkan apa, tidak jelas. Padahal saya mau tahu apa yang dia janjikan,” ucapnya.
Akhir tahun lalu, Ifan yang berdomisili di Jakarta, pulang untuk berlibur ke kampung halamannya. Ia menghadiri sosialisasi visi-misi dan program kerja dari calon anggota legislatif di daerahnya. Dalam kesempatan itu, Ifan mengajukan pertanyaan. Ia bertekad mengorek visi-misi dan program partai yang dibawa caleg itu.
Ifan bertanya tentang janji caleg bersangkutan untuk pembenahan gedung sekolah di wilayahnya. Pegawai swasta itu juga menanyakan asal dana kampanye si caleg. Namun, jawaban yang ia terima tidak memuaskan. Ia justru ditegur oleh tim sukses karena pertanyaannya terlalu vokal.
Di tengah ketidakjelasan itu, Ifan gamang. “Sepertinya sih saya tetap memilih (di pemilu), tapi hanya supaya suara saya nggak disalahgunakan. Nggak tahu juga mau memilih karena apa,” ucap dia.
Seperti Ifan, masih banyak masyarakat yang gamang menentukan pilihan karena tidak merasa diyakinkan dengan tawaran program kerja para calon. Tidak mengherankan, karena memasuki bulan keempat, iklim kampanye Pemilu 2019 masih belum substantif dan programatik.
Masyarakat belum terpapar informasi visi-misi dan program kerja yang ditawarkan para peserta pemilu, baik partai, caleg, maupun pasangan calon presiden-wakil presiden.
Di sisi lain, disinformasi semakin gencar menyebar, khususnya di media sosial. Publik dibuat bingung dan jengah dengan ganasnya penyebaran kabar-kabar hoaks terkait kedua paslon maupun penyelenggara pemilu.
Belakangan, rasa kecewa publik terhadap para elite tampak kentara lewat fenomena pasangan ‘Dildo’ atau Nurhadi-Aldo. Pasangan fiktif yang diusung Koalisi Indonesia Tronjal Tronjol Maha Asyik ini hadir sebagai antitesis dari para elite kandidat Pemilu 2019, dengan gaya satire memplesetkan janji-janji kampanye para calon.
Pantauan Kompas, Rabu (9/1/2019) pukul 08.00 pagi, dalam kurun waktu satu jam, tagar #UdahNurhadiAja di media sosial Twitter diperbincangkan hingga 750 kali. Pada pukul 11.00 siang, 710 twit konsisten mengicaukan tagar tersebut selama satu jam.
Sebagian twit #UdahNurhadiAja ditujukan sebagai candaan. Namun, tidak sedikit pula yang disertai kritik ekspresi kekecewaan pada elite politik, Tagar #UdahNurhadiAja seolah ingin menyatakan “sudah, pilih Nurhadi saja, daripada calon beneran yang programnya tidak jelas, gaduh, tetapi lupa pada rakyat”.
Akun @BIyatLigma, misalnya, mencuit, “Tired of shitty democracy in our country? Me too. Join us! Prove to the government that we are tired to all this bullshit. Spread this meme, spread love. #UdahNurhadiAja”.
Atau, “Lelah dengan demokrasi payah di negara kita? Saya juga. Ayo bergabung! Buktikan pada pemerintah kalau kita muak dengan omong kosong. Sebarkan meme ini, sebarkan cinta. #UdahNurhadiAja”. Twit yang diunggah pada pukul 13.25, Rabu siang, itu di-retweet sebanyak 28 kali dan disukai 65 kali.
Golput naik
Kegamangan dan rasa kecewa yang dirasakan calon pemilih di tengah iklim kampanye yang tidak kondusif dikhawatirkan dapat memengaruhi tingkat partisipasi pemilih (voter turnout) dan mendongkrak tingkat golongan putih (golput).
Berdasarkan survei Indikator yang dilakukan pada 16-26 Desember 2018 terhadap 1.220 responden di 34 provinsi, angka golput meningkat menjadi 1,1 persen dari sebelumnya, yaitu 0,9 persen pada Oktober 2018.
Sejalan dengan itu, ketertarikan publik terhadap persoalan politik dan pemerintahan juga semakin rendah. Per Desember 2018, secara umum, responden yang sangat tertarik dengan isu politik hanya tiga persen. Sisanya, 30 persen responden cukup tertarik, 38 persen kurang tertarik dan 25 persen tidak tertarik sama sekali.
Menurut Direktur Eksekutif Indikator Burhanudin Muhtadi, angka itu berpotensi terus naik. Ia meyakini, masih banyak calon pemilih yang berpotensi golput. Dalam survei, memang tidak semua responden menjawab jujur terkait sesuatu yang secara normatif tidak diterima masyarakat
umum.
Ini karena dalam sejarah perpolitikan Indonesia, ada citra negatif yang disematkan pada kelompok golput. “Dalam sejarah panjang orde baru, golput dianggap bukan warga negara yang baik. Ini masih tertanam di sebagian orang, sehingga ketika di-survei, orang tidak bisa spontan jujur akan golput,” kata Burhanudin.
Burhanudin mengatakan, angka golput bisa bertambah dari kelompok pemilih yang belum menentukan pilihan dan pemilih tidak loyal. Mengacu pada berbagai hasil survei, ada potensi 20-25 persen total pemilih mengambang. Berkaca pada pemilu sebelumnya, pemilih ini berpotensi menjadi golput.
“Potensinya minimal sekitar 20 persen dari total calon pemilih,” katanya.
Istilah golput adalah akronim dari ‘golongan putih’, term yang dipopulerkan sekelompok anak muda, saat Pemilihan Umum 1971. Gerakan ini muncul sebagai protes terhadap pemilu saat itu.
Eki Sjachrudin dalam tulisannya Kelompok Bebas, Ke manakah Kau Dalam Pemilu di kolom opini Kompas, 19 April 1971, menuliskan, saat itu, kebingungan menyebar, khususnya di antara anak-anak muda yang prihatin terhadap kondisi pemerintahan. Mereka menginginkan perbaikan dalam kehidupan berpolitik yang saat itu sangat militeristik dan tangan besi.
“Bagi mereka, masih pertanyaan besar apakah perbaikan kehidupan politik kita di masa depan bisa dikerjakan oleh partai-partai plin-plan dan tidak berkepribadian, atau apakah Golkar yang demikian tiranik itu bisa membangun kehidupan yang demokratis,” tulis Eki.
Arsip Kompas tanggal 25 Juni 1971 memuat tulisan kecil berjudul ‘Memorandum Golput’ yang menjelaskan inti gerakan itu. Di situ, dijelaskan, gerakan golput menyerukan kepada masyarakat agar dalam pemilu bertindak atas keyakinan diri. Kelompok Golput ini pun mengkritisi kekuatan militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang menjadi kekuatan otoriter saat Orde Baru.
Masyarakat diharapkan bisa memilih tanpa terpengaruh intimidasi fisik maupun mental. “Kalau ada yang menganggap memilih lebih baik daripada tidak memilih, lakukanlah. Sebaliknya, kalau ada yang merasa lebih baik tidak memilih daripada memilih, bertindaklah atas dasar keyakinan itu pula,” demikian isi memorandum tersebut.
Pada akhirnya, jumlah golput pada Pemilu 1971 hanya sedikit. Pemilu 1971 justru tercatat sebagai pemilu dengan partisipasi pemilih (voter turn-out) tertinggi. Meski demikian, istilah golput dan semangat gerakannya masih terbawa sampai pemilu-pemilu berikutnya, bahkan sampai selepas era reformasi.
Presiden Keempat Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, misalnya, pernah memilih untuk golput di Pemilu 2004 dan 2009. Ia bersama keluarganya memilih tidak mencoblos sebagai bentuk protes terhadap profesionalitas dan kecurangan Komisi Pemilihan Umum.
Momentum debat
Secara umum, tren partisipasi pemilih selama 15 tahun terakhir di tingkat nasional terus mengalami penurunan. Pada Pilpres 2004, partisipasi pemilih mencapai 84,1 persen. Pilpres 2009, sebesar 71,7 persen, dan Pilpres 2014 turun menjadi 70 persen.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, elite perlu mengantisipasi rendahnya tingkat partisipasi pemilih itu melalui menggencarkan kampanye programatik di sisa 3,5 bulan masa kampanye.
Berdasarkan laporan riset Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) pada 2016, Voter Turnout Trends around the World, tingkat partisipasi pemilih di negara manapun akan ditentukan oleh beberapa faktor politik, termasuk tawaran program kerja dan kebijakan dari kandidat yang disampaikan di masa kampanye.
Warga akan terdorong ingin memilih jika ada calon yang menawarkan kebijakan atau program kerja yang sesuai atau tidak sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya. Secara psikologis, orang akan merasa perlu berjuang untuk mencegah kebijakan tertentu diimplementasikan, atau untuk mendorong program tertentu diterapkan.
Ketika kampanye lebih banyak berputar pada isu-isu personal calon dan melupakan sosialisasi visi-misi serta program kerja, masyarakat yang masih gamang semakin bingung menentukan pilihan politiknya dan bisa berujung golput.
Arya mengatakan, debat presidensial yang diadakan sebanyak lima menjelang hari pemungutan suara, dapat menjadi penentu. Golput tidak hanya menandakan ada yang salah kehidupan berdemokrasi suatu negara, tetapi bisa juga merugikan pasangan calon secara elektoral.
“Jadi para calon juga berkepentingan membangun iklim demokrasi yang lebih sehat. Momentumnya ada pada debat. jangan sampai publik merasa kecewa, putus asa, seolah tidak ada harapan dari pemilu. Itu bisa berbahaya bagi pembangunan demokrasi,” kata Arya.