JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Jepang untuk memperkuat kapasitas manajemen bencana pemerintah daerah Sulawesi Tengah. Pembangunan pascabencana akan dilakukan sesuai hasil pemetaan lokasi oleh peneliti di lapangan dengan harapan mengurangi risiko dampak bencana di masa mendatang.
Mewakili Pemerintah Indonesia, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas meluncurkan kerja sama teknis dengan Pemerintah Jepang yang diwakili oleh Badan Kerja Sama Internasional Jepang (Japan International Cooperation Agency/JICA), Kamis (10/1/2019), di Jakarta. Acara tersebut dihadiri oleh perwakilan Pemerintah Provinsi Sulteng dan kementerian terkait pembangunan pascabencana di Sulteng.
Deputi Bidang Pengembangan Nasional Bappenas Rudy Prawiradinata mengatakan bahwa kerja sama teknis yang dilakukan meliputi penyusunan penilaian risiko dan peta ancaman bencana, penyusunan rencana tata ruang, memperkenalkan infrastruktur tahan bencana, serta pemulihan masyarakat.
”Rekonstruksi pembangunan ditargetkan tiga tahun selesai sampai tahun 2021,” ujar Rudy.
Ia mengatakan bahwa dasar hukum pembangunan di wilayah terdampak bencana akan dibuat oleh pemerintah daerah. Hal tersebut diperlukan sebagai acuan pembangunan pascabencana agar wilayah yang termasuk dalam zona rawan bencana tidak ditinggali penduduk. Rudy mengatakan, hal itu akan tertuang dalam peraturan daerah dalam bentuk rencana tata ruang wilayah (RTRW).
Saat ini, sekitar 50 tenaga ahli dari Jepang sudah berada di Indonesia. Sebagian besar di berada di Sulteng untuk melakukan survei lebih lanjut di daerah terdampak bencana. Sebagian lain berada di Jakarta untuk melakukan koordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Bappenas.
Saat ini, sekitar 50 tenaga ahli dari Jepang sudah berada di Indonesia. Sebagian besar di berada di Sulteng untuk melakukan survei lebih lanjut di daerah terdampak bencana.
”Nominal dana yang akan digelontorkam belum dipastikan. Dalam survei yang sedang dilakukan, sekaligus dilakukan penilaian untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Setelah survei, baru pembahasan besaran dana di antara kedua belah pihak,” kata Chief Representative JICA Indonesia Office Yamanaka Shinichi.
Ia mengatakan, hal teknis utama yang dilakukan oleh JICA adalah transfer pengalaman dan teknologi berdasarkan pengalaman tsunami dan likuefaksi di Jepang. Dalam hal itu, empat kategori tenaga ahli diturunkan Jepang, yakni ahli tata kota, tata ruang, rehabilitasi infrastruktur dan pembangunan masyarakat.
Ketua Program Studi Magister Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta Eko Teguh Paripurno mengatakan, kegagapan dalam menghadapi bencana merupakan dampak dari manajemen bencana yang kurang baik. Menurut dia, manajemen bencana yang baik diperlukan untuk mengurangi investasi penanggulangan saat terjadi bencana.
”Manajemen bencana itu dimulai dari upaya perencanaan pembangunan, pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, penanganan darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Jika masih ada kerusakan parah dan banyak korban jiwa, artinya ada celah yang kosong di dalam manajemen bencana,” kata Eko ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (27/12/2018).
Terkait penataan ruang di Sulteng, terdapat empat kriteria zona, yaitu zona kerawanan sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah. Untuk zona kerawanan sangat tinggi tidak boleh ada hunian lagi dan diusulkan menjadi zona lindung atau museum.
Suprayoga Hadi, Sekretaris Tim Koordinasi dan Asistensi Pemulihan dan Pembangunan Sulawesi Tengah-Nusa Tenggara Barat, mengatakan bahwa total anggaran yang dibutuhkan untuk membangun kembali Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah pascabencana ini mencapai Rp 34 triliun. Khusus untuk Sulteng, kebutuhannya Rp 22 triliun.
”Sekitar Rp 15 triliun di antaranya akan ditopang pinjaman jangka panjang, selain hibah dari sejumlah negara dan lembaga, seperti JICA (Jepang),” kata Suprayoga. (Kompas, 24/11/2018) (SUCIPTO)