JAKARTA, KOMPAS – Upaya pemulihan ekosistem industri pariwisata yang terdampak tsunami Selat Sunda akhir Desember 2018 lalu terus dilakukan. Perbaikan dilakukan pada sektor infrastruktur dan sektor keuangan.
Ketua Tim Crisis Center sekaligus Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian Pariwisata, Guntur Sakti, Kamis (10/01/2019) di Jakarta mengatakan, rencana aksi untuk mempercepat pemulihan pariwisata pascatsunami Selat Sunda akan dibahas dan dikordinasikan dengan Pemerintah Provinsi Banten dan Lampung serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Jumat (11/1/2019) di Banten. Rencana aksi pemulihan yang akan dibahas salah satunya terkait relaksasi bagi industri pariwisata.
“Kami akan mengusulkan kepada OJK dan pihak terkait untuk memberi relaksasi di bidang keuangan, termasuk cicilan ke bank. Usulan ini juga pernah kami lakukan pada saat bencana gempa di Bali dan Lombok beberapa waktu lalu,” kata Guntur.
Deputi Komisioner Bidang Industri Keuangan dan Non-Bank (IKNB) II OJK, M Ichsanuddin tengah mempertimbangkan kebijakan keringanan bagi para debitur yang terdampak tsunami Selat Sunda.
“Kemungkinan ada relaksasi. Relaksasi itu antara lain tidak ada denda keterlambatan angsuran. Keringanan berupa izin keterlambatan membayar angsuran tanpa denda akan diterima dalam waktu tiga sampai 24 bulan ke depan,” ujar Ichsanuddin.
Ia menambahkan, kebijakan pemberian perlakuan khusus tersebut sebelumnya pernah diterapkan terhadap kredit dan pembiayaan syariah perbankan, debitur, atau proyek yang berada di lokasi bencana alam gempa di Palu, Sulawesi Tengah.
OJK telah berkoordinasi dengan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) untuk melakukan pendataan terhadap perusahaan pembiayaan yang terkena dampak bencana tsunami Selat Sunda. Menurut data APPI, sampai 28 Desember 2018, ada sebanyak 15.222 debitur dengan potensi kerugian sebesar Rp 707,86 miliar atau sebesar 23,81 persen dari total piutang pembiayaan di wilayah Kabupaten Serang, Pandeglang, Lampung Selatan, Tenggamus dan Pesawaran. Pada umumnya kerugian itu pada aset kendaraan.
Menurut Ichsanuddin, musibah tsunami Selat Sunda di Banten mempunyai potensi klaim asuransi sebesar Rp 15,9 triliun. Namun, besaran realisasinya masih dikaji oleh OJK. “Pengalaman selama ini dari 10 daerah terkena bencana di Tanah Air, klaim aruansi terbesar terjadi di Padang mencapai 78,3 persen atau Rp 1,4 triliun dengan realisasi sebesar Rp 1,2 triliun dan Aceh sebesar 77 persen atau Rp 950 miliar dengan realiasi Rp 746 miliar.
Upaya ini didukung oleh Ketua Harian Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Banten Ashok Kumar. Relaksasi keuangan untuk industri pariwisata adalah salah satu usulan yang Ia sampaikan dalam pertemuan dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Banten, 7 Januari 2018 lalu.
Gencarkan promosi
Kementerian Priwisata akan menyiapkan 23 kegiatan yang mendukung promosi destinasi pariwisata yang tidak terdampak tsunami Selat Sunda. Asisten Deputi Pengembangan Pemasaran I Regional II Kemenpar Adella Raung mengatkan, fokus pada pemulihan destinasi yang tidak terdampak tsunami di Banten dan Lampung Selatan tersebut sebagai salah satu upaya untuk menumbuhkan kepercayaan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara untuk berkunjung kembali ke pesisir Pantai Selat Sunda.
Menurut Sekjen PHRI Kosmian Pudjiadi strategi promosi pada destinasi pariwisata yang tidak terkena dampak akan mempercepat pemulihan pariwisata Banten.
“Anyer sebagai destinasi yang tidak terkena dampak tsunami harus gencar dipromosikan kembali untuk memulihkan kepercayaan wisatawan terhadap pariwisata pantai di Banten,” kata Kosmian Pudjiadi.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Rahmat Triyono memaparkan, BMKG telah memasang sistem peringatan dini terkait ketinggian air atau early warning water level di perairan Banten dan Lampung Selatan. BMKG juga memasang empat alat seismograf di sekitar Gunung Krakatau, serta radar di pesisir pantai. Peralatan modern ini akan memberikan informasi lebih cepat dan akurat untuk disampaikan kepada masyarakat maupun industri pariwisata terkait potensi bencana.