JAKARTA, KOMPAS - Tahun ini, sebanyak 13 perusahaan sudah dipastikan akan melakukan penawaran saham perdana atau IPO di lantai Bursa Efek Indonesia. Himpunan dana IPO tahun ini diyakini dapat melebihi tahun lalu, seiring semakin menariknya pasar modal Indonesia di mata investor.
Sebanyak 3 perusahaan sudah melakukan penawaran saham perdana atau IPO, yakni PT Sentra Food Indonesia Tbk, serta PT Estetika Tata Tiara Tbk, dan PT Pollux Investasi Intenasional Tbk. Dua emiten yang disebut terakhir, mulai menawarkan saham perdana mereka pada hari ini, Kamis (10/1/2018). Adapun Sentra Food sudah terlebih dulu IPO dua hari sebelumnya.
Sementara 10 perusahaan lainnya yakni PT Meta Epsi, PT Nusantara Properti Internasional, PT Citra Putra Realty, PT DMS Propertindo, PT Envy Technology Indonesia, PT Bersatu Sejahtera Mandiri, PT Armada Berjaya Trans, PT Capri Nusantara Satu Properti, PT Menteng Heritage Realty, dan PT Arkha Jayanti Persada, hingga berita ini diturunkan masih dalam proses melengkapi persyaratan IPO.
Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI), I Gede Nyoman Yetna mengatakan, berdasarkan data yang dihimpun perusahaan penjamin emisi efek, tahun ini total ada 45 perusahaan yang mendaftar untuk melantai di bursa.
Dia menilai, potensi besaran himpunan dana IPO tahun ini lebih besar dari 2018. Tahun lalu, dana yang berhasil dihimpun dari IPO sebanyak Rp 15,67 triliun.
Penggalangan dana IPO dari tiga perusahaan di awal tahun ini sudah mencapai Rp 850,82 miliar. Pollux Investasi Internasional berhasil menghimpun dana IPO terbesar tahun ini mencapai Rp 657,44 miliar, disusul oleh Estetika Tata Tiara (Rp 128,13 miliar), kemudian Sentra Food Indonesia (Rp 20,25 miliar).
“Proyeksi ekonomi di tahun politik ini semakin baik sehingga semangat investasi para investor berlipat. Imbasnya, hasrat perusahaan untuk menghimpun dana di pasar modal terjaga,” ujar Yetna.
Proyeksi ekonomi di tahun politik semakin baik sehingga semangat investasi para investor berlipat
Kepala Riset Ekuator Swarna Sekuritas David Nathanael Sutyanto memprediksi, tahun ini indeks harga saham gabungan (IHSG) berbalik positif setelah terperosok di periode akhir tahun lalu. Persepsi ini membuat investor lebih optimis untuk membeli saham-saham IPO
Prospek IPO tahun ini, lanjut David akan berbanding lurus dengan prospek data ekonomi dalam negeri. Namun dia tidak menampik saham IPO juga punya risiko, meski outlook ekonomi Indonesia lebih stabil dibanding tahun lalu.
"Dalam jangka pendek, emiten umumnya tidak akan berusaha membangun persepsi pasar, sehingga fluktuasi harga saham sangat memungkinkan,” ujarnya. David berharap, dalam jangka panjang, dengan rutin melakukan keterbukaan informasi untuk menghindari fluktuasi harga saham.
IHSG sendiri pada perdagangan hari ini bergerak nyaman di zona hijau. Pada jeda perdagangan siang, IHSG berada di level 6.298,51 menguat 0,41 persen atau 25,91 poin dari posisi penutupan hari sebelumnya. Sejak pembukaan perdagangan, IHSG sudah berada di level 6.293,95.
Pemangkasan saham
Melihat tingginya antusiasme investor tahun ini, otoritas pasar modal membatalkan aturan pengurangan jumlah saham dalam satuan lot. Wacana ini sempat menjadi salah satu rencana jajaran direksi BEI sejak pertengahan tahun lalu.
Saat itu, direksi BEI membuka peluang menurunkan jumlah saham dalam hitungan satu lot, dari 100 saham menjadi 50-20 saham. Tujuannya untuk meningkatkan likuiditas pasar modal.
Direktur Pengembangan BEI Hasan Fawzi menilai, investor masih mampu menjangkau dan melakukan transaksi di pasar modal dengan satuan lot saat ini. Harga saham di pasar modal dalam negeri saat ini tidak terlalu mahal untuk dapat ditransaksikan oleh investor terutama investor ritel.
“Dari 620 emiten yang ada di pasar modal, sekitar 90 persen atau 570 emiten harga sahamnya masih di bawah Rp 5.000 per lembarnya. Artinya, masih banyak saham yang bisa diakses walau investor memiliki dana yang terbatas,” ujar Hasan.
Selain itu, Hasan mempertimbangkan tingkat biaya operasional yang akan ditanggung oleh anggota bursa ataupun bank kustodian. Pengurangan satuan lot diperkirakan akan memicu lonjakan frekuensi transaksi saham sehingga turut mengerek peningkatan biaya operasional.