Pekerjaan Rumah Pemimpin Baru BNPB
Mitigasi dan kesiapsiagaan menjadi kunci penanggulangan bencana di Indonesia yang terus terjadi. Hal itu menjadi tugas berat ke depan bagi pemimpin baru Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Rangkaian bencana alam yang melanda sepanjang tahun 2018 telah menewaskan 3.349 orang, 1.432 hilang, 21.064 terluka, 10,2 juta orang terdampak dan mengungsi, serta 319.527 rumah rusak. Adapun kerugian ekonomi mencapai puluhan triliun rupiah. Angka-angka ini berpotensi terus bertambah pada tahun-tahun mendatang jika kita tetap gagal melakukan mitigasi dan mengurangi risiko bencana.
Terkait hal itu, seusai melantik Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal TNI Doni Monardo di Istana Negara Jakarta, Rabu (9/1/2019), Presiden Joko Widodo menjanjikan penguatan manajemen mitigasi dan penanggulangan bencana. Hal itu diawali revisi payung hukum BNPB diikuti penyegaran pimpinan badan itu.
”Kita harus sadar negara ini ada di (kawasan) cincin api sehingga perlu manajemen dan kepemimpinan kuat untuk melaksanakan konsolidasi serta koordinasi pemerintah daerah, provinsi, pusat, TNI, dan Polri agar cepat merespons bencana,” kata Presiden.
Baca juga: Presiden Janjikan Penguatan Manajemen Bencana
Beban besar
Sejauh ini, bencana alam yang beruntun melanda telah menjadi beban besar bagi negara. ”Untuk memulihkan bencana di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah saja, kita butuh Rp 34 triliun,” kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, Rabu (9/1/2019). Sebagian besar kebutuhan dana ini harus ditopang dari utang luar negeri, baik melalui lembaga perbankan maupun negara donor.
Bencana alam yang beruntun melanda telah menjadi beban besar bagi negara. Untuk memulihkan bencana di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah saja, kita butuh Rp 34 triliun.
Menurut Sutopo, anggaran dana dalam negeri yang tersedia saat ini hanya Rp 6 triliun, sedangkan komitmen luar negeri sebesar Rp 15,6 triliun. Masih ada kekurangan dana Rp 15,6 triliun. Defisit anggaran itu akan membengkak jika kita menghitung biaya yang harus ditanggung untuk memulihkan dampak tsunami di Selat Sunda.
Hal itu belum dinilai dengan terus jatuhnya korban jiwa, yang menurut data BNPB, angkanya pada tahun 2018 naik 984 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2017, ada 309 korban jiwa meski jumlah bencana lebih banyak 10 persen dari 2018. Besarnya jumlah korban jiwa ini terutama disumbangkan oleh bencana geologi berupa gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi.
Meski frekuensinya 3,2 persen dari total bencana di Indonesia, bencana geologi paling mematikan. Rentetan gempa di Lombok menewaskan 564 orang. Gempa, likuefaksi, dan tsunami di Sulawesi Tengah menyebabkan 3.475 orang tewas dan hilang. Tsunami di Selat Sunda menewaskan 437 orang. Padahal, tiga bencana geologi paling mematikan itu belum pada kekuatan puncak.
Tiga bencana itu terjadi di luar jam kerja dan sekolah, khusus tsunami di Selat Sunda, terjadi tidak pada puncak liburan pergantian tahun. Dampak kehancuran bisa lebih katastropik jika terjadi di pusat kepadatan negeri ini, seperti temuan para ilmuwan baru-baru ini tentang aktifnya jalur-jalur patahan di Pulau Jawa, yang melewati kota-kota besar, seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya.
Menurut perhitungan Ngoc Nguyen, Phil R Cummins, dan tim dari Australian National University tahun 2015, gempa-gempa besar di Jawa bisa menimbulkan dampak amat besar. Jika gempa berkekuatan sama yang pernah melanda Jakarta tahun 1699 terjadi saat ini, jumlah korban bisa mencapai 100.000 orang. Estimasi itu didasarkan jumlah kepadatan pendudukan dan tingginya risiko kehancuran bangunan saat ini.
Jika melihat data sejarah yang tercatat ataupun yang terekam secara geologis, bentang alam negeri ini sesungguhnya menyimpan jejak-jejak bencana katastropik. Misalnya, letusan Gunung Krakatau pada 1883 yang diikuti tsunami dahsyat telah menewaskan lebih dari 36.000 jiwa, merupakan rekor dunia korban jiwa akibat tsunami vulkanik.
Bahkan, jika menggali data lebih dalam lagi, kita bisa menemukan narasi kehancuran lebih dahsyat lagi dari Gunung Krakatau purba, seperti tertera dalam Kitab Rajapurwa yang ditulis pujangga Jawa Ranggawarsito pada 1869.
Letusan Gunung Tambora pada 1815 bukan hanya mengubur tiga kerajaan di Pulau Sumbawa, melainkan juga memicu tahun tanpa musim panas dan kematian massal hingga Eropa. Bahkan, letusan Gunung Toba di Sumatera Utara disebut berbagai ahli sebagai letusan gunung api terbesar di Bumi dalam 2 juta tahun terakhir. Letusan ini disebut-sebut hampir memusnahkan manusia modern (Homo sapiens).
Baru 14 tahun lalu, kita mengalami gempa bumi dan tsunami yang terkuat yang terekam di Bumi di era modern. Sekitar 200.000 jiwa penduduk Aceh meninggal atau hilang akibat bencana alam ini. Secara teoritis, gempa dan tsunami sekuat Aceh ini bisa terjadi di zona subduksi mana pun yang melingkari pesisir negeri ini, termasuk di selatan Pulau Jawa dan Bali.
Selain berbagai bencana geologi ini, saat ini kita menghadapi ancaman bencana hidrometeorologi yang trennya meningkat dari tahun ke tahun. Ancaman paling nyata adalah banjir, longsor, dan puting beliung selain bencana terjadi perlahan, seperti perubahan iklim.
Dengan data ini, arah pembangunan yang dilakukan justru mengingkari risiko dan kerentanan bencana. Bahkan, pembangunan yang dilakukan sering kali meningkatkan risiko karena mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Orientasi pembangunan jangka pendek dan mengejar investasi sering kali membuat daerah menutupi risiko bencana di daerahnya. Ini misalnya terjadi di Sulawesi Tengah. Seperti disampaikan Direktur Perkumpulan SKALA, yang juga pemimpin Ekspedisi Palu-Koro, Trinirmalaningrum, dua bulan sebelum gempa 28 September lalu, dia dan para peneliti memaparkan temuan-temuan tentang kerentanan sesar Palu Koro kepada Gubernur Sulteng. ”Tetapi, tak direspons baik karena dinilai menakuti investor,” ujarnya.
Contoh lain, tiga daerah yang dilanda kejadian bencana yang menelan banyak korban jiwa, yaitu Lombok, Palu, dan Banten, ditetapkan sebagai kawasan ekonomi khusus. Patut dipertanyakan apakah perencanaan KEK memperhitungkan risiko bencana. Seperti terjadi di KEK Tanjung Lesung, yang rusak karena terlanda tsunami. Contoh lain adalah pembangunan Bandar Udara Yogyakarta di tepi pantai Kulon Progo yang berada di daerah landaan tsunami.
Tak hanya di tingkat pemerintah, pengabaian terhadap risiko bencana juga membudaya di masyarakat. Hal itu tecermin dengan pengabaian zona bahaya dan sempadan pantai ataupun sungai. Bahkan, fenomena ini juga terjadi di daerah-daerah yang baru saja mengalami bencana, seperti terjadi di Aceh pascatsunami 2004, Pangandaran pascatsunami 2006, dan berbagai daerah bencana lain.
Contoh lain, hingga sebelum tsunami melanda Selat Sunda pada 28 Desember 2018, masyarakat di pesisir Banten seolah mengubur dalam-dalam kisah malapetaka dari letusan Krakatau 1883. Kelemahan peralatan peringatan dini bencana dan belum sinerginya antarlembaga pemantau bencana memang menjadi masalah besar. Namun, kompleksitas sosial dan budaya masyarakat yang abai risiko bencana merupakan tantangan besar yang harus dihadapi untuk menjadikan negeri ini tangguh bencana.
Sesuai Undang-Undang Penanggulangan Bencana, BNPB memiliki fungsi strategis untuk mengoordinasi dan mengomando penanggulangan bencana di Indonesia dengan berbagai dimensinya. Selain itu, undang-undang ini juga telah mengamanatkan bahwa penanggulangan bencana melibatkan perencanaan pembangunan, pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, penanganan darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Sebagai contoh, dalam Pasal 6 UU itu disebutkan, tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan, serta perlindungan masyarakat dari dampak bencana.
Namun, di fungsi koordinasi serta pencegahan dan mitigasi bencana inilah selama ini BNPB belum optimal dan menjadi tugas berat ke depan bagi pimpinan BNPB yang baru. ”Penanggulangan bencana bukan hanya tanggap darurat dan pemulihan,” kata Eko Teguh Paripurno dari akademisi yang juga tokoh Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia.