JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan kebijakan perluasan penggunaan solar dengan campuran minyak sawit sebesar 20 persen atau B20 tidak boleh mundur. Kebijakan ini bukan semata untuk kepentingan industri kelapa sawit, melainkan untuk negara, yaitu mendorong ketahanan energi melalui pemanfaatan energi baru terbarukan serta menghemat devisa untuk impor minyak.
Hal itu mengemuka dalam acara diskusi tentang sawit yang diselenggarakan majalah Infosawit di Jakarta, Rabu (9/1/2019). Hadir sebagai pembicara antara lain Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) MP Tumanggor, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono, dan Ketua Umum Ikatan Ahli Biofuel Indonesia (Ikabi) Tatang Hernas.
Hadir pula Abetnego Tarigan dari kantor Staf Kepresidenan, Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andriah Feby Misna, serta Manajer Operasional Supply Chain Direktorat Logistik, Supply Chain, dan Infrastruktur PT Pertamina (Persero) Gema Iriandus Pahalawan.
”Biodiesel harus jadi hajat pemerintah, bukan pelaku usaha sawit. Jadi tidak ada poin mundur, harus maju terus. Apalagi dengan performa impor (migas) dan produksi yang menurun,” kata Joko Supriyono.
Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat peta jalan kebijakan biodiesel, baik itu B20, B30, maupun B100. Pertamina juga perlu memiliki komitmen yang sama dengan memperbaiki sarana prasarana untuk pelaksanaan penggunaan biodisel.
Sebelumnya, kata Gema, ada kendala distribusi biodiesel ke depo Pertamina.
Produksi sawit dan biodiesel terfokus di Pulau Sumatera, seperti Sumatera Utara dan Riau. Padahal, distribusi meliputi wilayah yang luas, termasuk Indonesia bagian timur. Pengangkutan biodisel dari Dumai ke Balikpapan, Kalimantan Timur, misalnya, perlu waktu sekitar dua minggu.
Proses bongkar pun perlu waktu dengan kilang penyimpanan yang masih terbatas. Setelah pencampuran biodisel, Pertamina masih harus mendistribusikan ke depo-depo di daerah lain.
Kapasitas produksi biodisel mencapai 12 juta kiloliter. Dengan kebijakan B20, penyerapan ditargetkan mencapai 6 juta kiloliter. Namun, kata Tumanggor, masih ada pihak yang berkeberatan dengan pelaksanaan B20.
Tumanggor menduga ada pihak yang dirugikan karena impor solar berkurang. ”Ada juga pelaku usaha perkapalan yang mengeluh karena B20 dapat mengakibatkan kerusakan mesin kapal. Padahal, sudah ada kapal yang menggunakan B20 atau B50,” ujarnya.