Penguatan Sistem Keuangan
Struktur ekonomi nasional Indonesia perlu diperkuat agar tidak lagi rentan dilanda krisis setiap masa sepuluh tahun sejak beberapa tahun terakhir ini.
Pada 1997-1999, ekonomi Indonesia dilanda krisis keuangan sangat parah yang melebar ke krisis sosial dan politik sehingga menumbangkan rezim Orde Baru pada 1998. Setelah itu terjadi krisis ekonomi global 2008-2009 dan krisis sekarang ini sejak 2015.
Sebelumnya, pada masa Orde Lama, ekonomi Indonesia bangkrut, tak mampu impor dan membayar utang luar negeri. Laju inflasi mencapai 650 persen pada 1965-1966. Betul bahwa sebagian dari krisis itu berasal dari gejolak ekonomi internasional. Namun, jika fundamen ekonomi kuat, gejolak global tak akan banyak pengaruh terhadap ekonomi nasional.
Kelemahan struktural
Penyebab utama kenapa ekonomi Indonesia rentan pada gejolak ekonomi internasional adalah karena terbelakangnya sistem keuangan Indonesia yang tak berubah sejak kemerdekaan 1945. Rasio penerimaan pajak terhadap PDB merupakan salah satu yang terendah di kalangan negara berkembang (emerging economies). Sistem keuangannya sangat tradisional, bertumpu pada empat bank negara yang tak produktif dan tak efisien, bagaikan kas negara. Lembaga keuangan jangka panjang, seperti dana pensiun dan perusahaan asuransi, tak terurus. Bank tabungan pos (BTP) sudah lama dimatikan pemerintah Orde Baru. Ekspor tidak dapat meningkat sesuai dengan kebutuhan impor dan membayar utang luar negeri.
Walaupun pengirim jumlah jemaah terbesar, Indonesia tak mampu membuat kegiatan umrah dan haji serta pasar Arab Saudi sebagai sumber penghasilan devisa. Hanya Salim Group yang mampu memanfaatkan pasar Arab Saudi bagi pengembangan ekspor mi instannya di wilayah Timur Tengah. Perusahaan ini juga membangun pabrik mi di Arab Saudi dan negara Islam lain, termasuk Nigeria, Maroko, serta Bosnia dan Herzegovina. Sementara Pemerintah Indonesia belum mampu memanfaatkan Arab Saudi sebagai landasan pembuka untuk masuk ke pasar negara-negara lain.
Rasio penerimaan negara terhadap PDB di Indonesia tetap rendah, 13,3 persen pada 2018. Rasio pajak ini terdiri dari penerimaan pajak 11,1 persen dan nonpajak 2,2 persen. Rasio pajak negara berkembang lain sepantar Indonesia berkisar 19-20 persen. Tak ada informasi sumbangan pembagian keuntungan 115 BUMN (di antaranya 84 persero) dan puluhan BUMD pada keuangan negara.
Sebelum reformasi sistem perpajakan tahun 1983, pemungutan pajak dilakukan berdasarkan negosiasi antara petugas pemungut dan wajib pajak (WP). Petugas diberi target jumlah penerimaan pajak yang harus dipungutnya. Reformasi sistem pajak tahun 1983 mengganti tata cara pemungutan pajak dengan sistem self assessment atau perhitungan sukarela WP untuk menghitung sendiri berapa jumlah kewajiban pembayaran pajaknya. Sistem ini pun gagal meningkatkan rasio pajak karena self assessment tak diikuti oleh audit atau pemeriksaan kebenaran perhitungan pajak oleh auditor Ditjen Pajak ataupun penegakan aturan pajak yang benar.
Berbagai kasus kejahatan pajak, seperti kasus Gayus Tambunan, menggambarkan kegiatan audit pajak diselewengkan jadi tindakan korupsi pejabat. Dalam sejarah Indonesia, belum ada kasus pengadilan penggelapan kewajiban pajak. Untuk dapat meningkatkan penerimaan pajak, Ditjen Pajak perlu meningkatkan kualitas audit mengikuti standar prosedur di seluruh dunia dengan mengikutsertakan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) sebagai auditor internal dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sebagai auditor eksternal. Setelah itu baru dilanjutkan dengan menegakkan aturan hukum, memenjarakan dan menyita kekayaan pengemplang.
Terbelakangnya industri keuangan Indonesia tecermin dari strukturnya. Dilihat dari jumlah kantor cabang dan nilai aset, industri perbankan menguasai hampir 80 persen dari kantor serta aset industri keuangan Indonesia. Lebih dari 50 persen pasar perbankan dikuasai empat bank negara (Mandiri, BRI, BNI, BTN). Pemerintah mendirikan BNI dan Bapindo, sedangkan bank-bank lain hasil pengambilalihan bank-bank milik Belanda. Semua provinsi, kabupaten, dan kota punya bank pembangunan daerah (BPD) sendiri. Semua bank negara dan BPD itu tak efisien dan tak produktif. Semua bank milik pemerintah itu bangkrut semasa krisis 1997-1998 sehingga terpaksa dimerger dan kini tinggal tersisa empat bank.
Pemerintah memberikan berbagai kemudahan untuk bank miliknya sendiri, termasuk tempat menyimpan kekayaan keuangan semua sektor negara ataupun penyelenggara transaksi keuangannya. Dalam realitas, BPD bukan bank pembangunan yang memobilisasi dana jangka panjang dan memberikan kredit jangka panjang. Untuk dapat membangun pasar sederhana dan air minum (PAM) pun, pemda harus pinjam dari pemerintah pusat. Dewasa ni, semua BPD merupakan bank komersial yang memberikan kredit jangka pendek dan tak lebih dari kasir bagi pemda pemiliknya. Karena terus didukung pemerintah, bank-bank pemerintah dan BPD tak diperbolehkan bangkrut.
Peranan institutional investors, lembaga keuangan jangka panjang, terutama dana pensiun dan asuransi, sangat kecil. Karena menerima simpanan jangka panjang, hanya lembaga keuangan ini yang mampu memberikan kredit jangka panjang untuk membangun proyek infrastruktur berjangka panjang maupun membeli Surat Utang Negara (SUN) atau obligasi pemerintah dan swasta berjangka panjang. Sebagian besar dana pensiun yang ada dewasa ini milik negara dan BUMN ataupun perusahaan swasta skala besar. Meski sudah diberi berbagai kemudahan oleh negara, perusahaan asuransi BUMN, yang sebagian besar berasal dari perusahaan asing yang dinasionalisasi, tak mampu bersaing dengan perusahaan raksasa asing.
BTP yang dikembangkan pemerintah kolonial Belanda sudah hancur pada masa krisis ekonomi Orde Lama. Setelah perekonomian distabilkan, Orde Baru tak meneruskan BTP dan justru mengubah namanya jadi Bank Tabungan Nasional yang berubah jadi bank komersial dan bank penyedia kredit perumahan.
Padahal, BTP sangat populer di Eropa dan Jepang serta negara lain sebagai sarana mobilisasi tabungan masyarakat terutama kelas bawah karena jarak kantornya yang berdekatan dengan tempat tinggal atau tempat kerja masyarakat. Jumlah kantor pos lebih besar daripada jumlah kantor cabang bank komersial. Jumlah BTP kian besar jika kantor cabangnya diserahkan untuk dikelola masyarakat, seperti pertokoan eceran. BTP menarik bagi masyarakat karena biaya transportasi ke kantornya yang sangat murah dengan transaksi kecil pula. Oleh karena itu, biaya operasional BTP juga jauh di bawah bank.
Dalam Paket Deregulasi Perbankan Oktober 1988, pemerintah ingin menumbuhkan bank perkreditan rakyat (BPR) dan menggantikan koperasi simpan pinjam (KSP) dengan BPR. BPR dimaksudkan sebagai bank lokal perdesaan yang langsung diatur dan diawasi oleh BI dan OJK. Hasilnya tidak jelas dan biaya pengaturan serta pengawasannya pun terlalu mahal.
Di negara-negara maju di Eropa Barat dan Jepang, SUN terutama diserap oleh dana pensiun, perusahaan asuransi, dan BTN. Risiko kurs dapat dihindarkan karena pemerintah berutang pada investor dalam negeri. Karena rakyat percaya kepada pemerintahnya, investor pun tak keberatan jika tingkat suku bunga SUN lebih rendah daripada tingkat suku bunga komersial.
Sebaliknya di Indonesia, karena tak kokohnya dana pensiun, perusahaan asuransi dan BTP, maka SUN rupiah yang dijual di Bursa Efek Indonesia di Jakarta lebih dari dua pertiga dikuasai pemodal asing. Pemodal asing itu sensitif terhadap gejolak kurs rupiah dan perbedaan antara tingkat suku bunga di dalam dengan di luar negeri. Karena rendahnya kemampuan negara Indonesia memungut pajak, investor juga ragu akan kemampuan negara melunasi utang dalam dan luar negerinya.
Ekspor dan lapangan kerja
Seperti halnya kasus mi instan Salim Group, kegiatan ibadah umrah dan haji dapat dipergunakan sebagai peluang pasar yang sangat besar karena besarnya jumlah jemaah yang berkunjung ke Arab Saudi. Ibadah haji berlangsung pada musim haji berdasarkan kalender tertentu, sedangkan umrah berlangsung setiap hari sepanjang tahun. Selain meraup devisa, kegiatan umrah dan haji sekaligus dapat digunakan untuk menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja yang kurang punya pendidikan ataupun keahlian. Hal ini tergantung pilihan produk yang akan dihasilkan dan diekspor. Untuk ini kita belajar dari Deng Xiaoping, pemimpin China yang telah berhasil memakmurkan negaranya.
Sewaktu mewarisi negara itu dari Mao Zedong pada 1978, China adalah negara miskin dengan pengangguran sangat tinggi dan tingkat pendidikan serta keterampilan rendah. Sistem pertanian komunal menurunkan produksi bahan makanan sehingga puluhan juta orang mati kelaparan. Produksi industri manufaktur sangat rendah dan kualitasnya buruk akibat dari industrialisasi skala kecil tingkat perdesaan, satu desa satu produk. Pada era Mao, modal asing dan orang luar dicurigai sebagai instrumen kolonialisme dan kapitalisme.
Deng mengakhiri sistem pertanian komunal dan industri perdesaan. Modal asing diundang untuk membuka lapangan kerja pada industri manufaktur padat karya yang berorientasi ekspor. Produk yang dihasilkan adalah sesuai kemampuan teknologi tenaga kerja: tusuk gigi, kayu lapis, tekstil dan pakaian murahan, mainan anak-anak yang terbuat dari kayu dan plastik, serta alas kaki. Selain membawa modal, modal asing itu mengubah perilaku petani menjadi buruh industri yang menghargai waktu dan melakukan alih teknologi.
Di samping membuka pasar internasional, pemodal asing juga mengajarkan pentingnya menjaga mutu barang, efisiensi, dan produktivitas sehingga mampu bersaing di pasar dunia. Setelah tenaga kerjanya menghargai waktu dan disiplin sebagai tenaga kerja industri serta mengusai teknologi, secara perlahan China beralih pada industri yang lebih canggih hingga mampu mengekspor kereta api supercepat, telepon seluler, komputer, ataupun barang mewah seperti sekarang ini.
Beberapa jenis suku cadang dan komponen industri elektronik dan otomotif juga dibuat di China. Modal asing yang awalnya hanya bekerja di pantai timur China perlahan masuk ke pedalaman.
Dalam kelompok pakaian jadi yang diproduksi China, terdapat pula pakaian umrah dan haji sehingga semua warga Indonesia yang beribadah menggunakannya: kerudung, peci, serban, baju ihram, selendang, sandal, ikat pinggang, termos, dan kompas. Pasar dalam negeri kita, mulai dari Pasar Tanah Abang hingga Yogyakarta dan Surabaya serta pelosok lainnya, juga menjual baju muslim produk China. Padahal, semua jenis tekstil dan pakaian muslim itu sebenarnya dapat dibuat di Indonesia oleh tenaga tak lulus SD tanpa sekolah mode.
Perajin pembuat kerudung dan baju muslim di Tasikmalaya, Yogyakarta, Solo, Sumatera Barat, dan Sulawesi Utara dapat diberdayakan membuat pakaian umrah dan haji. Diganti warna dan coraknya, kerudung yang sama dapat dijual pada wanita Katolik di Eropa yang juga berkerudung untuk menghadiri misa. Tenaga kerja yang banyak menganggur juga dapat diberdayakan untuk membuat tasbih dan kaligrafi serta barang kerajinan Islami yang laku dijual di Timur Tengah dan negara-negara Islam lainnya. Kaligrafi hasil karya perajin Hindu Bali sama indahnya dengan produk perajin muslim dari Solo dan Yogyakarta.
Perajin barang-barang kulit di Bukit Tinggi, Cibaduyut, dan Tanggul Angin dapat membuat sepatu, sandal, ikat pinggang, dan barang-barang kulit keperluan jemaah. Tenaga kerja Indonesia juga dapat diajari untuk membuat berbagai jenis komponen dan suku cadang industri elektronik dan otomotif. Indonesia pun sudah mulai mampu mengekspor mobil dan sepeda motor rakitan maupun gerbong kereta api.
Devisa pun dapat diraup dan lapangan kerja dapat diciptakan dari pendirian restoran serta angkutan darat jemaah haji dan penginapannya selama beribadah di Tanah Suci. Kalau restoran, angkutan darat, dan losmen serta hotel tak boleh dikuasai 100 persen oleh pemodal asing, bisa dicarikan pemodal lokal untuk usaha patungan. Fasilitas restoran, angkutan darat, dan penginapan itu sekaligus melayani keperluan WNI yang menetap yang jumlahnya sangat banyak dan terkonsentrasi di Jeddah, Mekkah, dan Madinah. Promosi restoran Indonesia dapat dimulai dengan menyajikan makanan populer, seperti restoran Padang dan Banjar, soto Kudus dan sate Madura, atau makanan Pacitan. Jenang Kudus, dodol Garut, dan keripik udang pun dapat diadu dengan Turkish delight dari Turki.
Sebagai pembuka promosi produk, restoran, angkutan, dan penginapan milik Indonesia di Arab Saudi, menteri agama dapat mewajibkan agar seluruh jemaah umrah dan haji Indonesia menggunakan produk lokal. Kalau ternyata harga barang China sedikit lebih murah, jemaah Indonesia bisa dipaksa membayar sedikit lebih mahal atau untuk sementara disubsidi pemerintah. Subsidi itu dapat diambil dari pembagian keuntungan syariah deposito tabungan haji.
Upaya pengembangan ekspor itu hanya berhasil jika ada dukungan dari semua pihak. Pemerintah harus mampu menjaga iklim usaha yang baik, efisiensi dan daya saing yang meningkat. BI mampu menjaga kurs rupiah sehingga memberikan insentif bagi pengembangan ekspor. Lembaga keuangan dapat menyediakan modal usaha. Dunia usaha, termasuk BUMN dan BUMD, harus mampu memanfaatkan global supply chains atau jaringan produksi global.
Anwar Nasution Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia