Negara berkembang diminta meningkatkan kewaspadaan agar tidak kehilangan momentum pertumbuhan. Tekanan global bakal memengaruhi perekonomian domestik.
Jakarta, kompas Bank Dunia mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini dari 3 persen jadi 2,9 persen. Dalam laporan Prospek Ekonomi Global 2019 yang dirilis Bank Dunia, Rabu (9/1/2019), situasi ekonomi global ”semakin suram”. Sebab, aktivitas manufaktur dan perdagangan internasional melambat, ketegangan perang dagang meningkat, dan mayoritas negara berkembang mengalami tekanan signifikan di pasar keuangan.
Laporan itu juga menyebutkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju diperkirakan melambat dari 2,2 persen tahun lalu menjadi 2 persen tahun ini. Sementara di negara-negara berkembang ekonomi diperkirakan tumbuh 4,2 persen atau lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya yang 4,7 persen.
Pelambatan pertumbuhan ekonomi global ini akan menyebabkan penurunan permintaan barang, kenaikan biaya pinjaman, serta ketidakpastian kebijakan yang membebani prospek pasar negara-negara berkembang.
Para pemangku kebijakan di negara-negara berkembang perlu memprioritaskan kesiapan menghadapi kemungkinan tekanan pasar keuangan. Di sisi lain, penting juga membangun kembali penyangga ekonomi makro yang tepat melalui peningkatan modal manusia, penghilangan hambatan investasi, serta pembangunan integrasi perdagangan multilateral.
Chief Executive Officer Bank Dunia Kristalina Georgieva menyatakan, ketika tantangan ekonomi dan keuangan di negara-negara berkembang meningkat, kemajuan dunia dalam mengurangi kemiskinan akan terancam. Demi menjaga momentum pertumbuhan, setiap negara perlu meningkatkan investasi sumber daya manusia, mendorong pertumbuhan yang inklusif, serta membangun penduduk yang tangguh.
Secara terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, ketidakpastian global yang menyelimuti tahun ini berpotensi mengoreksi sejumlah asumsi makro dalam APBN 2019. Tekanan ekonomi global menjadi faktor dominan yang dapat memicu volatilitas perekonomian domestik yang berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.
”Dalam asumsi APBN 2019 disebutkan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen. Namun, kami melihat ada kemungkinan risiko asumsi pertumbuhan itu meleset, tetapi paling tidak tetap di atas 5 persen,” kata Sri Mulyani dalam paparan proyeksi perekonomian Indonesia 2019 di Jakarta, Selasa (8/1/2019).
Pacu daya saing
Di tengah ketidakpastian global, sebagian besar negara menggunakan instrumen fiskal untuk menarik investasi portofolio dan penanaman modal asing. Kementerian Keuangan mulai mengkaji penurunan Pajak Penghasilan (PPh) badan yang saat ini 25 persen. Pengurangan PPh dinilai bakal memberikan sinyal positif ke investor dan pasar serta memacu daya saing industri domestik.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan Roeslani menyatakan, penurunan PPh badan dapat meningkatkan daya saing ekspor. Pelaku usaha usul PPh badan jadi 17 persen sehingga bisa lebih bersaing dengan negara-negara ASEAN, terutama Singapura.
Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, pemerintah dapat menurunkan PPh badan apabila dasar pengenaan pajak diperluas. Jika pengenaan pajak tidak diperluas, penurunan PPh bisa berdampak negatif pada penerimaan.
Indonesia punya catatan negatif ketika tarif pajak diturunkan, rasio pajak dan penerimaan malah stagnan. Menurut Yustinus, situasi itu disebabkan tidak adanya perluasan basis pajak, kesadaran bayar pajak rendah, dan investasi baru belum signifikan.
Selain insentif perpajakan, pemerintah berupaya memacu daya saing ekspor melalui perbaikan sistem perizinan berusaha serta menyederhanakan prosedur untuk mengurangi biaya ekspor dan memilih komoditas unggulan.
(KRN/E05/E19/E18/CAS/ARN)