PALU, KOMPAS — Sejumlah posko atau kompleks pengungsian penyintas di Sulawesi Tengah tak mengelola sampah dengan baik. Selain meminimalisasi potensi timbulnya penyakit, sampah semestinya dikelola untuk pemberdayaan ekonomi penyintas.
”Berdasarkan pengamatan kami, tak ada skenario pengelolaan sampah di pengungsian. Solusi umumnya sampah dibakar,” kata Wulan Trisia, aktivis Sikola Mombine di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (10/1/2019). Sikola Mombine aktif membantu dan mendampingi pengungsi, terutama untuk kelompok rentan seperti perempuan dan anak.
Wulan menuturkan, di sejumlah posko pengungsian, pengelolaan sampah yang umum terjadi adalah dengan dibakar, baik jenis organik maupun nonorganik. Pengangkutan sampah di posko-posko belum terlihat. Pengungsi tidak diberikan edukasi untuk memilah sampah organik dan anorganik.
”Bahkan, di sejumlah titik ada tempat pembuangan sampah yang dekat dengan arena bermain anak-anak. Ini tentu membahayakan kesehatan anak-anak,” ujar Wulan.
Untuk mencegah penyakit lingkungan, sampah perlu diolah. Sikola Mombine akan membentuk kelompok pemberdayaan para ibu di posko-posko pengungsian. Wujudnya nanti menghasilkan pupuk untuk sampah organik dan aneka barang hias dari sampah-sampah plastik.
Wulan menyebutkan, kelompok pengolahan sampah akan dibentuk di posko-posko di Panau, Kabonena di Kota Palu serta Gunung Bale, Labuan Bajo, dan Dampal di Kabupaten Donggala.
”Ini membantu para ibu untuk berdaya secara ekonomi meskipun kelihatannya kecil, selain untuk mencegah munculnya penyakit lingkungan dan pencemaran udara,” ujar Wulan.
Nova (43), pengungsi di Kelurahan Petobo, Kota Palu, mengakui tak ada pengelolaan sampah. Selama ini pengungsi membuang sampah di sembarang tempat. Belum ada pengaturan sampah. ”Saya senang kalau sampah diolah,” katanya.
Di sejumlah pengungsian, terutama hunian sementara (huntara), tong sampah tersedia di setiap bilik. Namun, sampah dibakar di sekitar lokasi pengungsian. Pemandangan itu terlihat di huntara di Desa Lolu, Kecamatan Sigi Biromaru, Sigi, yang dibangun oleh sebuah yayasan.
Ino (26), salah satu koordinator di huntara tersebut, mengatakan, sampah selama ini dibuang di bagian belakang huntara untuk dibakar. Dirinya pernah menyampaikan kepada pemerintah untuk mengangkut sampah di kompleks huntara, tetapi hingga saat ini hal itu belum dilakukan. ”Kalau ada terobosan pengelolaan sampah, kami sangat senang dan berpartisipasi di dalamnya,” katanya.
Gempa bumi mengguncang Sulteng pada 28 September 2018. Gempa bumi diikuti tsunami dan likuefaksi yang menelan banyak korban jiwa, kerusakan dan kehilangan rumah serta harta benda. Penyintas saat ini berada di posko pengungsian dan huntara. Penyintas menempati huntara atau posko pengungsian dua tahun ke depan.