SBN Ritel Terbit 10 Kali, Tingkat Kupon Tidak Terlalu Agresif
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kementerian Keuangan akan menerbitkan surat berharga negara ritel sebanyak sepuluh kali pada tahun 2019. Namun, tingkat kupon atau bunga diperkirakan tidak seagresif tahun lalu karena terpengaruh suku bunga acuan Bank Sentral AS dan pertumbuhan ekonomi global yang terkoreksi.
Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Loto Srinaita Ginting dalam peluncuran SBN ritel seri SBR005 di Jakarta, Kamis (10/1/2019), mengatakan, target penerbitan surat berharga negara (SBN) ritel tahun ini sekitar Rp 80 triliun atau berkisar 9-10 persen dari target SBN bruto sebesar Rp 825 triliun. SBN ritel digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan peningkatan sumber daya manusia.
Pada 2019, SBN ritel akan diterbitkan sepuluh kali yang terdiri dari masing-masing empat kali penerbitan Savings Bond Ritel (SBR) dan Sukuk Tabungan (ST), serta satu kali penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI) dan Sukuk Ritel (Sukri). SBN ritel menyasar investor dari kalangan milenial untuk memperluas basis investor domestik.
SBN ritel pertama yang diterbitkan adalah seri SBR005. Masa penawaran dibuka pada 10-24 Januari 2019 dengan minimum pemesanan Rp 1 juta dan maksimum Rp 3 miliar. Tingkat kupon minimal sebesar 8,15 persen, sementara pembayaran imbalan akan dilakukan tiap bulan tanggal 10. Target indikatif SBR005 maksimal Rp 5 triliun.
“Tingkat kupon SBR005 meningkat dari seri SBR004 yang sebesar 8,05 persen. Namun, selisih bunga memang turun dari 225 bps (basis poin) menjadi 215 bps,” kata Loto.
Tingkat kupon untuk setiap penerbitan SBR bisa berbeda. Sebab, kupon SBR bersifat mengambang yang akan disesuaikan dengan suku bunga acuan Bank Indonesia setiap tiga bulan, ditambah selisih harga jual (spread). Sementara itu, suku bunga acuan Bank Indonesia sangat dipengaruhi oleh suku bunga acuan Bank Sentral AS (Federal Reserve).
Loto menuturkan, tren kenaikan suku bunga Bank Sentral AS yang diperkirakan tidak terlalu agresif tahun ini akan mempengaruhi tingkat kupon SBR. Tingkat kupon SBR berpotensi melandai dibandingkan tahun lalu, yang meningkat cukup tajam dari 6,08 persen untuk SBR003 yang ditawarkan Mei 2018 menjadi 8,05 persen pada SBR004 yang ditawarkan Agustus 2018. Tahun ini ada kecenderungan penurunan tingkat bunga baik pada surat utang negara tenor 10 tahun maupun SBN.
“Tingkat bunga pasar keuangan domestik sangat terkait dengan perkembangan di pasar keuangan global. Melihat ada penurunan tingkat suku bunga dibandingkan situasi lalu, bisa jadi ini tingkat kupon tertinggi (SBR005),” ujar Loto.
Meski demikian, SBR dinilai sebagai instrumen investasi dengan risiko paling rendah. Sebab, imbal hasil yang diterima investor akan sesuai dengan tingkat kupon saat SBR dipesan. Pemerintah menetapkan tingkat kupon minimun untuk setiap penerbitan SBR yang berbeda dengan instrumen investasi di pasar modal. Investasi SBR juga dijamin undang-undang sehingga risiko gagal bayar rendah.
Investordomestik
Menurut Loto, sampai saat ini Indonesia masih sangat tergantung investor asing. Oleh karena itu, penerbitan SBN ritel bagian dari upaya memperdalam pasar keuangan. Basis investor yang dibidik adalah kalangan muda yang melek teknologi. Pembelian SBN ritel bisa dilakukan secara daring, tidak perlu datang langsung ke bank.
Dari hasil riset Kemenkeu, instrumen SBR, misalnya, paling diminati oleh investor generasi milenial yang berusia 18-38 tahun atau 40,99 persen dari total investor. Dari aspek volume pembelian SBR, mayoritas pemesanan dilakukan oleh generasi babyboomers berusia 54-72 tahun.
Perencana keuangan, Prita Hapsari Ghozie, berpendapat, instrumen investasi kini semakin mudah dan ramah kantong. Dulu, investasi identik dengan membeli tanah atau properti yang membutuhkan dana ratusan juta rupiah. Instrumen investasi SBR kini bisa menjadi pilihan generasi milenial karena minimal investasi relatif rendah Rp 1 juta.
Generasi milenial, kata Prita, mesti mulai membuat perencanaan investasi baik jangka pendek satu tahun atau jangka menengah dan panjang 1-5 tahun. Untuk investasi jangka menengah, instrumen yang dipilih harus lebih tinggi dari angka inflasi tahunan. Tingkat kupon yang dipilih setidaknya di atas 5 persen agar bisa menikmati imbal hasilnya.
Prita menyarankan, alokasi ideal untuk penghasilan bulanan terdiri dari dana darurat dan asuransi (10 persen), biaya hidup dan cicilan (60 persen), tabungan dan investasi (15 persen), gaya hidup (10 persen), dan dana sosial (5 persen).
“Alokasi dana untuk tabungan dan investasi setidaknya 15 persen dari total penghasilan bulanan,” kata Prita.