JAKARTA, KOMPAS— Setelah 15 tahun, 22 perupa dari Makasar kembali mengelar pameran seni rupa Sulawesi Pa\'rasanganta di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (10/1/2019). Pameran yang akan berlangsung hingga 19 Januari ini menyajikan dinamika kreativitas perupa di Sulawesi Selatan dengan tema kehidupan sehari-hari.
Direktur Eksekutif Bentara Budaya Jakarta (BBJ) Frans Sartono dalam pembukaan pameran seni rupa Sulawesi Pa\'rasanganta, mengatakan, semangat pameran seni rupa Sulawesi Pa\'rasanganta didasari peristiwa 17 tahun yang lalu saat pelukis Ali Walangadi membakar puluhan lukisannya seusai menggelar pameran di Kampus Universitas Hasanuddin, Makasar.
Pembakaran tersebut sebagai bentuk keprihatinan Ali atas minimnya apresiasi terhadap seni rupa di Sulawesi Selatan, khususnya di Makassar. Namun, pembakaran itu juga dapat dimaknai sebagai pembakaran semangat untuk terus berkarya dalam situasi apa pun. Setelah pembakaran itu, dua tahun kemudian semangat berkarya biru tersalurkan dalam Pameran 45 Perupa Sulawesi Selatan di BBJ, Agustus 2003.
“Inilah bentuk semangat berkesenian seniman Sulawesi Selatan. Semangat yang menjadi pameran pertama Bentara Budaya Jakarta di tahun 2019. Dan semoga menjadi pelaut semangat seniman Sulawesi yang lebih 17 tahun lalu dibakar oleh Ali Walangadi," katanya.
Kurator pameran seni rupa Sulawesi Pa\'rasanganta, Anwar Jumpa Rachman, mengatakan, karya 22 perupa yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta, menampilkan lapis kedua dari sisi kehidupan para pelukis di masyarakat seperti permasalahan batin dan kegelisahan kehidupan sosial.
Ia menuturkan, karya 22 perupa sedang bersiasat melepaskan diri dari citra-citra yang ingin ditampakkan pada perkembangan masa-masa sebelumnya, rentang waktu ketika tanggapan tafsir kekayaan budaya hanya hadir pada lapisan pertama.
Para perupa membawa gagasan untuk membangun dunia seni rupa Sulawesi Selatan berupa, nilai dan pernyataan dalam Sulawesi Pa\'rasanganta tentang kenyataan baru, singkatan yang lain, lapis potongan-potongan kedua, atau situasi mutakhir fisik dan lingkungan yang mereka hadapi secara personal maupun komunal.
Ia berharap, pameran ini semakin mendorong perkembangan seni rupa Sulawesi Selatan. Khususnya untuk seniman muda, mereka tidak perlu takut lagi berkarya tanpa melihat ruang dan waktu, serta menjadi pengalaman berharga yang dapat menumbuhkan semangat berkarya.
Refleksi pergulatan dalam diri, respons terhadap situasi mutakhir hadir seperti dalam karya Achmad Fauzi berjudul Angaru\' di Sudut Benteng (2018). Pemaknaan atas keteguhan dan keyakinan hati yang kokoh, semangat yang senantiasa hadir dalam jiwa manusia menghadapi setiap persoalan.
Perupa lainnya, Faisal syarif dengan karya instalasi berjudul Glory of Love yang bercerita tentang menyelami alam bawah dasarnya. “Karya ini adalah kegelisahanku, ketakutanku, itu tertuang dalam sebuah kertas awalnya. Gambar itu seram. Namun dari ketakutan dan permasalahan itu ternyata berarti seni untuk diriku. Ketakutan yang membawa ku pada sebuah karya,” katanya.
Ia melanjutkan, kemunculan hal-hal yang mengendap itu kemudian tergantikan dengan perasaan yang sebaliknya. “Akar permasalah diri, orang lain, dan sosial dimulai dari sesuatu yang harus kita temukan dalam diri kita,” lanjut Faisal. (AGUIDO ADRI)