JAKARTA, KOMPAS – Kementerian Kesehatan memastikan ketersediaan obat antiretroviral jenis kombinasi tenofovir, lamivudine, dan efavirenz atau TLE aman hingga akhir 2019. Kalaupun kelak pengadaan obat itu dari anggaran pendapatan dan belanja negara belum terlaksana sampai April 2019, pemerintah sudah siap mengantisipasinya.
Saat ini, stok obat yang dimiliki cukup hingga Mei 2019. Diharapkan, proses pengadaan obat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2019 bisa terealisasi sebelum April 2019.
“Antisipasi dengan skenario terburuk jika April 2019 pengadaan APBN belum terlaksana, telah dilakukan permintaan pengiriman TLE lagi sebanyak 564 ribu botol yang akan mencukupi kebutuhan hingga akhir 2019,” ujar Direktur Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Wiendra Waworuntu, di Jakarta, Kamis (10/1/2019).
Obat yang tersedia saat ini berasal dari pengadaan Global Fund yaitu organisasi PBB untuk pencegahan penyebaran HIV dan perawatan orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Global Fund telah memasok obat ke Indonesia sebanyak 220.000 botol untuk pengobatan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sampai Maret 2019.
“Untuk tahap kedua, kami minta lagi 564.000 botol. Diharapkan, (obat) datang paling tidak Mei 2019 secara bertahap jika stok belum tersedia penuh. Paling tidak masuk 336.000 dulu di Mei 2019,” ujar Wiendra.
Namun menurut Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition Aditya Wardhana, stok antiretroviral (ARV) jenis LTE justru menipis beberapa bulan terakhir. Bahkan, pada November 2018, stok obat di sejumlah kota kosong. Ini seperti di Medan, Deli Serdang, dan Makasar. Stok dinilai mulai membaik sejak kekosongan obat dipasok Global Fund.
“Kalau tender Kementerian Kesehatan (untuk pengadaan obat dari APBN 2019) gagal lagi dan Global Fund tidak bisa memberikan dukungan kembali, ketersediaan obat TLE akan terancam,” katanya.
Menurutnya, proses pengadaan obat ARV jenis TLE di 2018 selalu gagal. Dua kali proses pengadaan dengan penunjukan langsung Kementerian Kesehatan kepada Kimia Farma, tidak berhasil menemui titik temu terkait harga.
Setelah Juli 2018, proses lelang terbatas dengan dua peserta, yakni Kimia Farma dan Indofarma Global Medika, juga tidak menghasilkan pemenang, sehingga stok obat pun kosong di beberapa tempat.
Kegagalan tender-tender tersebut karena harga perkiraan sendiri (HPS) yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan terlalu rendah. HPS sekitar Rp 165.000 per botol sedangkan perusahaan menginginkan harganya, berkisar antara Rp 385.000 hingga Rp 404.000 per botol.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, sampai Agustus 2018, ada 43.586 ODHA yang mengonsumsi ARV jenis TLE atau 42 persen dari total ODHA yang mengonsumsi ARV.
Dalam Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV dan AIDS yang dibuat pemerintah, dijalankan strategi 90-90-90 untuk mengendalikan HIV/AIDS. Artinya, 90 persen ODHA tahu statusnya, 90 persen dari mereka yang tahu statusnya berada dalam perawatan ataupun pengobatan, dan 90 persen dari mereka yang berada dalam pengobatan menekan penularan virus. Epidemi HIV di Indonesia pun ditargetkan berhenti pada 2030.
Terkait kegagalan tender di 2018, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Engko Sosialine Magdalene tidak membantahnya. Oleh karena itu, pihaknya kini sedang mengupayakan agar hal serupa tak terjadi lagi di 2019.
“Namun prinsipnya, walaupun tender tahun lalu gagal, ketersediaan obat tetap kami jamin. Masyarakat diharapkan tidak perlu khawatir. Jika masuk e-katalog, harga pun akan normal,” katanya.