Diancam Akan Dibunuh, Gadis Arab Saudi yang Kabur Hapus Akun Twitternya
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
BANGKOK, JUMAT – Remaja putri asal Arab Saudi yang kabur meninggalkan keluarganya dan kini berada di Thailand, Jumat (11/1/2019), mendadak menghapus akun Twitternya. Menurut seorang temannya, hal itu dilakukan setelah ia mendapat ancaman akan dibunuh.
Rahaf Mohammed al-Qunun (18) tiba di Bangkok, Thailand, Sabtu pekan lalu. Semula ia ditolak masuk negara itu. Dari area transit Bandar Udara Suvarnabhumi, ia lalu mulai mengunggah pesan melalui Twitter, mengabarkan bahwa ia "lolos dari Kuwait" dan, jika dipaksa dikembalikan ke Arab Saudi, ia mengklaim hidupnya bakal terancam.
Dalam hitungan jam, pesan-pesannya viral di Twitter, diramaikan dengan tagar #SaveRahaf. Otoritas Thailand lalu membolehkan Qunun masuk Thailand pada Senin. Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) lalu merujuk pada Australia agar negeri itu mempertimbangkan menampung Qunun sebagai pengungsi.
Pada Jumat (11/1/2019) siang, akun Twitter Qunun (@rahaf84427714) tak bisa diakses lagi setelah ia sempat mengunggah pesan bahwa ia mempunyai "kabar buruk dan baik!" Akun tersebut sempat muncul lagi, sekitar satu jam kemudian, tetapi kembali raib dalam hitungan menit.
Pemilik akun Twitter yang dikenal bernama Nourah dan disebut Qunun sebagai temannya berkisau di Twitter bahwa Qunun "menerima ancaman akan dibunuh dan atas alasan itu ia menutup akun Twitternya".
Qunun, yang berada di lokasi yang tidak diungkapkan di Bangkok dan tak bisa dimintai komentar, sebelumnya pernah mengatakan melalui Twitter bahwa ia menerima ancaman akan dibunuh dari seorang kerabatnya melalui platform media sosial.
Terkait kasus Qunun, Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne, Kamis (10/1/2019), menyatakan bahwa Australia sedang mempertimbangkan apakah akan memberi suaka pada Qunun. "Menyusul rujukan UNHCR, Australia saat ini melakukan langkah-langkah yang harus kami lakukan terkait proses penilaian, dan saat (penilaian) ini selesai, hasilnya akan diumumkan," kata Payne di Bangkok.
Kunjungan Payne ke Bangkok telah dijadwalkan sebelum kasus Qunun mencuat. Salah satu agenda kunjungannya, adalah untuk membicarakan pesepakbola Bahrain Hakeem Al-Araibi yang berstatus pengungsi di Australia, tetapi ditahan di Bangkok.
Apabila ia (Rahaf) termasuk pengungsi, kami akan sangat, sangat, sangat serius mempertimbangkan visa kemanusiaan.
Pada hari Rabu, Canberra menyatakan, Australia mempertimbangkan untuk menampung Qunun bilamana UNHCR menganggap Qunun sebagai pengungsi. "Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) telah merujuk Australia untuk mempertimbangkan memasukkan Rahaf ke pemukiman pengungsi,” jawaban Departemen Dalam Negeri Australia melalui surel kepada kantor berita Reuters, Kamis (9/1/2019).
"Apabila ia (Rahaf) termasuk pengungsi, kami akan sangat, sangat, sangat serius mempertimbangkan visa kemanusiaan,” Kata Menteri Kesehatan Greg Hunt kepada the Australian Broadcasting Corporation sebelum UNHCR merujuk kasus ini pada Australia.
Putri gubernur
Rahaf terbang dari Kuwait dengan tujuan Australia. Ia mengantongi visa sebagai wisatawan. Ketika transit di Bangkok pada Sabtu (5/1/2019) dan akan melanjutkan penerbangannya ke Australia, ia ditahan. Ia kemudian mengurung diri di kamar hotel dekat bandara dan menolak pemulangan oleh petugas imigrasi Thailand. Ia menulis pesan di Twitter yang berisi pengakuan bahwa dirinya melarikan diri dari Kuwait dan hidupnya akan terancam jika dipulangkan paksa ke Arab Saudi.
Dalam waktu beberapa jam saja kampanye terkait Rahaf muncul di Twitter dan disebarkan oleh para aktivis yang mendorong Pemerintah Thailand untuk mengubah keputusannya memulangkan paksa Rahaf ke negara asalnya. Rahaf akhirnya diizinkan masuk Thailand dan pada Selasa proses pencarian suaka di negara ketiga dimulai.
Pimpinan Imigrasi Thailand Surachate Hakparn mengatakan, perempuan itu menolak bertemu ayah dan kakaknya yang terbang ke Bangkok. Salah satu alasan Rahaf melarikan diri, sesuai klaimnya, adalah karena ayahnya melakukan kekerasan dan menjodohkannya dengan laki-laki yang bukan pilihannya.
Ayah Rahaf yang tidak disebutkan namanya menyangkal tuduhan anaknya yang tersebut. Ia menghendaki putrinya pulang. Tetapi, ia juga menghormati keputusan Rahaf. Menurut Surachate, ayah Rahaf adalah seorang gubernur di Arab Saudi. “Ia mempunyai 10 anak. Itu sebabnya, mungkin, Rahaf merasa agak terabaikan,” katanya.
Kasus Rahaf ini menarik perhatian khusus karena terkait dengan hak perempuan di Arab Saudi. Ada sejumlah perempuan asal Arab Saudi yang meminta suaka kepada negara lain karena menjadi korban kekerasan di keluarganya dalam beberapa tahun terakhir. Menurut para aktivis hak asasi manusia, kasus Qunun merupakan fenomena gunung es di Arab Saudi.
Perwakilan Human Right Watch di Australia, Elaine Pearson, mengatakan, tindakan Rahaf dengan mempublikasi kondisi yang dialaminya melalui media sosial diharapkan bisa diikuti oleh perempuan lain di Arab Saudi yang mengalami hal serupa.