Dalam Kebijakan Energi Nasional, energi baru dan terbarukan sedikitnya 23 persen dalam bauran energi nasional di 2025. Angka itu setara dengan kapasitas terpasang listrik 45.000 megawatt. Target dinaikkan menjadi sedikitnya 31 persen pada 2050.
Dalam waktu yang sama, penggunaan minyak bumi dan batubara dikurangi pada 2025 masing-masing menjadi 25 persen dan 30 persen. Berikutnya, pada 2050, porsi minyak bumi terus diturunkan menjadi 20 persen dan batubara tinggal 25 persen. Sebuah target yang oleh banyak kalangan dinilai cukup ambisius.
Pada awal 2019, capaian energi baru dan terbarukan masih kurang dari 8 persen. Mencapai target bauran 23 persen dalam waktu tujuh tahun ke depan sangat berat kalau tak ingin dikatakan mustahil. Itu sama artinya dengan penambahan kapasitas terpasang listrik dari sumber energi baru dan terbarukan sebanyak 4.000 megawatt sampai 5.000 MW per tahunnya.
Kenapa sulit? Faktanya, penambahan kapasitas terpasang listrik dari sumber energi baru dan terbarukan hanya 400 MW sepanjang 2018. Penambahan itu datang dari panas bumi, tenaga surya, bayu, mikrohidro, dan bioenergi lainnya. Tak ada penambahan baru yang bersumber dari tenaga nuklir. Dalam hal ini, nuklir dikelompokkan sebagai energi baru, tetapi tak terbarukan.
Menariknya, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Rida Mulyana menyebut bahwa porsi energi baru dan terbarukan bisa saja kian menurun dalam bauran energi nasional. Hal itu akan terjadi apabila laju pertumbuhan energi fosil (batubara dan migas) jauh lebih cepat ketimbang energi baru dan terbarukan. Artinya, secara volume bisa saja naik, tetapi secara persentase bisa saja energi baru dan terbarukan menurun.
Yang jadi pertanyaan adalah mengapa target yang sudah dibuat pemerintah tak mampu dicapai oleh pemerintah itu sendiri. Ini baru soal energi baru dan terbarukan. Banyak sasaran yang dibuat pemerintah, tetapi dilanggar atau kemajuannya lamban. Dokumen dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 untuk produksi batubara adalah salah satu contohnya. Realisasi produksi selalu lebih tinggi dari pembatasan produksi.
Belum lagi soal kendaraan listrik, pemakaian gas untuk transportasi, atau berbagai rencana pengembangan energi terbarukan lainnya. Rencana-rencana itu banyak tertulis dalam dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). RUEN disusun dalam bentuk Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017. Adapun Kebijakan Energi Nasional berbentuk Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014.
Kalau pemerintah tak mampu merealisasikan amanat dalam aturan-aturan tersebut di atas, sama saja pemerintah melanggar aturannya sendiri. Demikian yang dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam acara konvensi dan pameran energi baru dan terbarukan di Jakarta pada Agustus 2018. Banyak soal kenapa laju pertumbuhan energi baru dan terbarukan tak seperti yang diinginkan.
Dalam berbagai diskusi, sejumlah penyebab kenapa energi baru dan terbarukan tak tumbuh cepat di Indonesia dirangkum dalam tiga faktor. Ketiganya adalah regulasi, pendanaan, dan teknologi. Beberapa regulasi mengenai tarif jual beli tenaga listrik dari energi terbarukan dipandang kurang ekonomis bagi pengembang. Investor akhirnya memilih menunggu sebelum memutuskan berinvestasi di Indonesia.
Ditambah lagi, paradigma penyediaan energi pemerintah, yaitu energi harus terjangkau dan andal, bermuara pada energi fosil jenis batubara. Tak heran, sumber energi dari batubara untuk pembangkit listrik tenaga uap tumbuh lebih cepat ketimbang energi baru dan terbarukan. Diakui memang, harganya lebih murah dan pasokannya bisa diandalkan.
Pertanyaannya kemudian, lantas buat apa target-target dalam RUEN dan Kebijakan Energi Nasional itu?