Jaga Komitmen Pemilu Damai
JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah kasus berpotensi mengganggu kedamaian pelaksanaan Pemilu 2019. Komitmen semua pihak untuk menjaga Pemilu 2019 amat dinantikan.
Kurang dari dua minggu perjalanan tahun 2019, muncul sejumlah peristiwa yang jika tidak secepatnya diselesaikan dengan baik dapat dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk mengganggu pelaksanaan Pemilu 2019. Terkait hal itu, komitmen untuk menjaga dan mewujudkan pemilu yang damai ditunggu realisasinya.
Berita bohong atau hoaks tentang adanya tujuh kontainer surat suara dari China yang telah dicoblos menjadi kasus pertama pada tahun ini terkait pemilu yang mengagetkan publik. Kasus yang muncul pada 3 Januari lalu itu menambah deretan berita bohong yang telah muncul sebelumnya, seperti penganiayaan terhadap Ratna Sarumpaet.
Ketika polisi mulai menangkap sejumlah orang yang diduga terlibat dalam penyebaran hoaks terkait tujuh kontainer surat suara itu, pada Rabu dini hari lalu terjadi teror terhadap rumah dua unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo dan Laode M Syarif.
Teror terhadap dua unsur pimpinan KPK itu berpotensi ikut menjadi materi debat pertama Pemilihan Presiden 2019 yang akan digelar pekan depan. Terlebih, teror itu menjadi teror kesembilan yang dialami KPK. Ironisnya, dari teror-teror itu belum ada yang dapat diungkap hingga tuntas oleh aparat.
Kondisi ini berpotensi memunculkan sejumlah dinamika terkait Pemilu 2019. Terkait hal ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) meminta semua peserta pemilu menjaga kesepakatan untuk mewujudkan kampanye damai, yang lalu bermuara pada pemilu yang damai.
”Komitmen itu mengikat kepada peserta pemilu. Oleh karena itu, kepada figur publik yang mendapatkan informasi mengenai tahapan pemilu sebaiknya dikomunikasikan dulu kepada KPU, Bawaslu, atau lembaga penegak hukum,” kata anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, Kamis (10/1/2019) di Jakarta.
Komitmen untuk mewujudkan kampanye damai ini secara nasional disampaikan dalam Deklarasi Kampanye Damai Pemilu Serentak 2019 yang digelar KPU di Jakarta, 23 September 2018. Hadir dalam acara itu, para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), calon anggota legislatif, dan pimpinan partai politik (Kompas, 24/9/2018).
Guna mewujudkan pemilu damai, Pramono berharap aparat penegak hukum mengusut sejumlah kasus, seperti penyebaran hoks, dengan dengan cepat dan transparan.
”Kami berharap aparat penegak hukum menangani kasus ini sebaik-baiknya, tidak peduli dari pihak mana pun, dan diharapkan hukum ditegakkan dengan seadil-adilnya,” kata Pramono.
Anggota Bawaslu, M Afifuddin, menambahkan, pada Selasa pekan depan pihaknya akan bertemu dengan sejumlah pihak untuk membahas persoalan hoaks. ”Kami akan petakan cara-cara potensial untuk mengatasi hoaks.
Kami akan mengundang divisi siber dari Polri, Kominfo, KPU sebagai pihak mitra, BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara), serta kementerian bidang politik, hukum, dan keamanan,” paparnya.
Pertemuan itu diharapkan bisa semakin memantapkan satuan tugas khusus yang dimiliki Bawaslu dalam memantau isu-isu dan pemberitaan seputar pemilu.
Dialog
Hasto Kristiyanto dari Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin menegaskan, pihaknya siap bertemu dan berdialog dengan pihak Prabowo Subianto-Sandiaga Uno untuk bersama menangkal hoaks dan menciptakan suasana kondusif di sisa masa kampanye.
Dalam berbagai kesempatan, lanjut Hasto, elite dan kader partai pendukung Jokowi-Ma’ruf terus diingatkan untuk tidak membuat dan menyebarkan hoaks jika ingin memenangkan kontestasi pemilu. Ini karena berbagai hasil survei menunjukkan, hoaks tidak signifikan menambah elektabilitas calon.
Hoaks hanya berguna untuk mengukuhkan pemilih loyal, bukan menggaet pemilih mengambang. ”Oleh karena itu, selalu kami tekankan, tidak ada gunanya membuat hoaks karena hanya akan meningkatkan militansi internal. Jika mau menang, lebih baik fokus pada kampanye ke daerah-daerah,” ucapnya.
Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Andre Rosiade, mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk tidak menyebarkan hoaks. Namun, acap kali kritik yang disampaikan kubu Prabowo-Sandi dipandang sebagai hoaks. Pihaknya juga mendukung polisi agar mengusut tuntas kasus hoaks terkait tujuh kontainer surat suara dari China.
Pimpinan agama
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menuturkan, pemilu merupakan kontestasi politik yang rutin dilakukan setiap lima tahun.
”Kontestasi politik itu hal yang rutin dan normal, jangan dibawa menjadi serba gawat darurat. Jangan menjadi ajang pertarungan politik yang keras dan merusakkan bangunan persyarikatan, keumatan, dan kebangsaan,” katanya.
Terkait hal itu, Haedar berharap semua pihak menjauhi sikap paling benar dalam politik. Apalagi, sampai menghakimi orang yang punya pilihan politik berbeda.
Menurut Haedar, penting untuk terus dipahami bahwa politik merupakan jalan guna mewujudkan cita-cita bangsa dan bukan untuk mengejar kekuasaan semata.
Oleh karena itu, sudah semestinya para politisi menggunakan keadaban dalam berpolitik. Praktik politik dengan menggunakan segala cara, seperti mengadu domba, menebar kebencian dan permusuhan, menyebar hoaks dan provokasi, serta fitnah, mesti dihindari.
Di saat yang sama, bangsa Indonesia memerlukan persatuan serta kerukunan masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan bangsa. Oleh karena itu, semua pihak, termasuk masyarakat, mesti mengembangkan dialog yang cerdas dan dewasa untuk mewujudkan cita-cita bangsa.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj menambahkan, kaum nahdliyin dan ulama siap mengawal dan menyukseskan Pemilu 2019. ”Tidak boleh menjadikan pemilu (sebagai) faktor perpecahan,” ujarnya menegaskan.
Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia Uung Sendana menuturkan, tidak ada yang diuntungkan oleh perpecahan. ”Kalau demikian (terjadi perpecahan), bagaimana mau meneruskan pembangunan. Harus selalu diingatkan bahwa perebutan kekuasaan semestinya untuk kepentingan masyarakat,” ujarnya.
Uung pun sepakat bahwa semua yang terlibat dalam pembuatan dan penyebaran kabar bohong ditindak tegas. Pembiaran dapat mengakibatkan khaos dan ketidakpercayaan publik kepada penyelenggara pemilu.
Terkait hal itu, Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Albertus Patty berharap ada tindakan tegas dari aparat negara terhadap mereka yang membuat dan menyebarkan hoaks, ”Harus ada ketegasan, jangan sampai terjadi delegitimasi penyelenggaraan pemilu,” kata Albertus.(REK/AGE/INA/NTA)