Kembangkan Wawasan Kebangsaan di Prodi Pendidikan Agama Islam
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pembahasan wawasan kebangsaan dan toleransi melalui persepsi keagamaan yang moderat perlu dikembangkan lebih banyak lagi di program studi pendidikan agama Islam. Mahasiswa tidak hanya diajar mengenai agama sebagai cara beribadah. Sebagai calon guru pendidikan agama Islam, mereka juga harus memiliki kompetensi berpikir kritis dan berwawasan persatuan Indonesia.
Penelitian terhadap 981 mahasiswa tingkat akhir program studi pendidikan agama Islam (PAI) dan 169 dosen PAI di 19 Perguruan Tinggi Keagamaan Islam oleh Pusat Studi Islam dan Perubahan Sosial (CISForm) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga mengungkapkan, 10 persen mahasiswa tidak setuju dengan Pancasila karena dinilai tidak sejalan dengan nilai-nilai agama.
“Meskipun mayoritas mahasiswa mendukung Pancasila, keberadaan 10 persen yang tidak setuju ini tetap mengancam persebaran ideologi ekstrem jika tidak segera intervensi. Mereka bisa menyebarkan ideologi ini kepada siswa ketika sudah menjadi guru PAI,” tutur Koordinator Peneliti CISForm Muhammad Wildan dalam peluncuran penelitian “Menanam Benih di Ladang Tandus: Potret Sistem Produksi Guru Agama Islam di Indonesia” di Jakarta, Kamis (10/1/2019).
Dari penelitian itu ditemukan bahwa 80 persen mahasiswa PAI tidak memiliki kemampuan berbahasa Arab yang baik sehingga mereka kesulitan membaca dan mencerna teks-teks keagamaan. Sebagai gantinya, mereka lebih banyak mengakses informasi keagamaan melalui media sosial, terutama yang disampaikan oleh para penceramah yang viral di internet.
Peneliti CISForm Sukiman mengatakan, rendahnya kemampuan mencerna teks-teks berbahasa Arab ini disebabkan karena mayoritas mahasiswa PAI tidak berasal dari latar belakang pesantren maupun madrasah yang sudah terbiasa membedah ilmu agama dari tahap dasar hingga tinggi, justru dari SMA dan SMK. Mereka baru mendalami ilmu agama di pendidikan tinggi.
“Sistem seleksi mahasiswa baru PAI masih menggunakan nilai Ujian Nasional yang merupakan mata pelajaran umum. Tidak ada seleksi berdasarkan kemampuan membaca dan menganalisa teks-teks keagamaan,” papar Sukiman.
Selain itu, kuota mahasiswa prodi PAI umumnya paling besar dibandingkan prodi lainnya. Akibatnya, sistem seleksi cenderung longgar. Hal ini terjadi baik di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) negeri maupun swasta. Penelitian ini merekomendasikan adanya seleksi mahasiswa baru yang lebih ketat dan mengedepankan kompetensi membaca kitab kuning dan teks-teks keagamaan.
Kurikulum PAI di kampus juga tidak berkembang. Tampak dari materi kuliah ternyata banyak yang sama dengan materi pelajaran agama Islam di SMP dan SMA tanpa ada pembahasan lebih mendalam terkait dalil-dalil keagamaan, tafsir, dan analisa kontemporernya. Jarang ada pembahasan ilmu agama dari sudut pikir filsafat Islam.
Menurut Sukiman, salah satu cara menyaring calon guru PAI yang baik adalah dengan Pendidikan Profesional Guru. Program ini memasukkan lebih banyak substansi keilmuan dibandingkan pendekatan agama yang ritualistis dan kompetensi profesional yang hanya menekankan kepada pedagogis.
Berubah
Peneliti CISForm Ahmad Muttaqin dalam paparannya menjabarkan bahwa ada beberapa PTKI yang mulai berbenah seperti Universitas Islam Negeri Alauddin dan Universitas Muslim Indonesia (UMI). Keduanya terletak di Makassar, Sulawesi Selatan. “Kuota penerimaan mahasiswa baru PAI dikurangi setengah. Dari empat kelas menjadi dua kelas agar kampus bisa fokus mengajar dan membangun karakter mahasiswa,” ucapnya.
Dosen-dosen mulai memasukkan materi keislaman dan kebangsaan kontemporer disertai dengan wawasan kebangsaan dalam setiap mata kuliah. Terdapat pula ketegasan kampus melarang organisasi-organisasi yang berideologi ekstrem atau pun menentang Pancasila untuk beroperasi di lingkungan kampus. Mahasiswa yang hendak mengikuti pengajian di luar pun diminta untuk melapor kepada dosen.
UMI juga menerapkan sistem pesantren selama satu bulan bagi para mahasiswa baru untuk memperkuat pondasi keislaman yang kritis dan akademis. Dalam proses perkuliahan, mereka juga memiliki program memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar bahasa asing dengan biaya murah agar mahasiswa memiliki kemampuan membaca dan mencerna lebih banyak teks.
Kepala Subdirektorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Kementerian Agama Suwendi mengatakan, prodi PAI sejatinya terbuka untuk umum. Seleksi mahasiswa baru bisa ditingkatkan standarnya, tetapi tidak boleh eksklusif hanya merekrut orang-orang dari latar pendidikan tertentu.
Selain itu, ia juga menjelaskan Kementerian Agama mengimbau PTKI agar menjadi pusat pendidikan serta dakwah Islam yang moderat. Harapannya, selain membangun wawasan kebangsaan dan toleransi, juga meningkatkan mutu akademik dan penelitian di bidang keagamaan.