Langkah Wakil Rakyat Ditunggu…
“Sudah saatnya praktik perkawinan anak kita hentikan. Harus kita perbaiki (kondisinya). Kerusakan akibat perkawinan anak sudah sangat parah. Dampak praktik perkawinan anak di tingkat bawah sangat memprihatinkan. Praktik kawin bocah ini harus kita hentikan.”
Hal ini diungkapkan Yuda Irlang Kusumaningsih dari Maju Perempuan Indonesia (MPI) yang merupakan forum tokoh perempuan, Rabu (9/1/2019) petang, di Media Center Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senayan, Jakarta.
Sore itu bersama Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartikasari, Titi Anggraeni, Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan Anggara Suwahju (kuasa hukum pemohon uji materi Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dari Koalisi 18+), Yuda mengungkapkan praktik-praktik perkawinan anak tidak bisa lagi ditolerir. Batas usia perkawinan anak perempuan harus dinaikkan, DPR diharapkan segera tindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan perubahan UU Perkawinan.
Apalagi, teriakan untuk menghentikan perkawinan anak sudah disuarakan sejak dulu, sejak Kongres Perempuan Indonesia pertama tahun 1928. Tapi realitanya, meski sudah 90 tahun berlalu, perkawinan anak masih berlangsung.
“Masih bocah cilik sudah punya anak. Padahal organ reproduksi belum siap, lalu drop out dari sekolah. Angka perceraian juga tinggi. Akibatnya karena sudah cerai, punya anak, mau kerja tidak bisa masuk lapangan kerja formal karena pendidikan rendah, maka hanya bisa masuk sektor informal,” tutur Yuda.
Tak hanya itu, ketika menjadi janda, sejumlah perempuan-korban perkawinan anak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), karena diiming-iming menjadi pekerja migran di luar negeri, tapi ternyata tidak dipekerjakan sebagai pekerja migran.
Karena itulah, revisi Undang-Undang Perkawinan Anak, khususnya Pasal 7 yang mengatur batas usia perkawinan laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun, sangat mendesak. Apalagi, Mahkamah Konstitusi dalam putusan pada 13 Desember 2018, sudah menyatakan perkawinan anak, khususnya perempuan berusia 16 tahun bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu juga disebutkan, Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mensyaratkan usia minimal perempuan menikah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun dinilai bersifat diskriminatif.
Bagi Titi, putusan MK tersebut menjadi oase sekaligus kabar gembira bagi rakyat Indonesia, khususnya perempuan di Tanah Air. Bahkan Anggara menilai, putusan MK cukup melegakan karena setelah 90 tahun Kongres Perempuan pertama akhirnya ada kepastian hukum.
“Setidaknya secara hukum perbedaan usia antara laki-laki dan perempuan dinyatakan hal yang diskriminatif untuk konstitusi. Tentu ini bukan perjuangan yang mudah,” kata Anggara.
Dengan putusan MK tersebut, jalan atau pintu menuju perubahan UU Perkawinan terbuka. Maka langkah pertama KPI dan para aktivis perempuan adalah mendatangi rumah para wakil rakyat, agar segera menjalankan perintah MK untuk melakukan perubahan UU tersebut.
Revisi terbatas
Bak gayung bersambut, GKR Hemas, Ketua Presidium Nasinal Kaukus Perempuan Parlemen yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang hadir bersama sejumlah perempuan anggota DPR, yakni Hetifah (Partai Golkar), Irma Suryani Chaniago (Partai Nasdem), Diah Pitaloka (PDIP), Nihayatul Wafiroh (PKB) mendukung perubahan Pasal 7 UU Perkawinan tersebut.
Bahkan Hemas bersama empat perempuan anggota DPR tersebut juga memaparkan pandangan dan pengalaman mereka ketika menyaksikan kondisi perkawinan anak di berbagai daerah.
“Dalam kasus-kasus untuk mendapatkan ijin bekerja ke luar negeri, kalau masih usia 14 tahun biasanya mereka menikah dulu, kemudian dengan surat nikah langsung dicerai,” ujar Hemas, yang mendorong pencegahan perkawinan anak di desa-desa di wilayah Yogyakarta dengan cara bersinergi dengan semua pemangku kebijakan.
Menurut Hemas, untuk mencegah perkawinan anak harus dilakukan di akar rumput dengan membuka cara berpikir masyarakat, sedangkan di tingkat nasional dengan perubahan UU Perkawinan. Irma sepakat perkawinan anak harus dihentikan, karena perkawinan anak justru semakin memperpanjang lingkaran kemiskinan. Karena itulah, Diah berharap segera ada langkah konkret agar DPR segera memulai proses revisi UU Perkawinan tersebut.
Harapannya jalan menuju revisi UU tersebut melalui inisiatif Komisi VIII untuk mengajukan revisi terbatas sehingga prosesnya bisa cepat. Apalagi, pimpinan DPR sendiri sudah menyatakan komitmen melalui Pidato Ketua DPR dalam Rapat Paripurna DPR Pembukaan Masa Persidangan III Tahun Sidang 2018 – 2019, pada 7 Januari 2019, untuk memprioritaskan pembahasan dan pengesahan UU yang diamanatkan MK, salah satunya UU Perkawinan.
Jadi sekarang bolanya ada di DPR. Para perempuan menaruh asa terhadap para wakil rakyat, semoga sebelum masa bakti DPR 2014-2019 berakhir, revisi Pasal 7 UU Perkawinan sudah rampung.