Belum juga terungkap kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan, teror terhadap KPK kembali terjadi.
Sebuah benda diduga bom ditemukan di rumah unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Laode Syarif, Rabu 9 Januari 2019 dini hari. Menurut Kepala Biro Penerangan Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo, kabel-kabelnya tidak saling terkait dan tidak ada detonator. ”Jadi, itu fake bomb,” ujarnya, seperti dikutip harian ini, Kamis (10/1/2019).
Sontak berita penemuan bom di rumah unsur pimpinan KPK mengingatkan publik kepada kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan yang belum juga terungkap. Penyiraman air keras terjadi pada 11 April 2017. Lebih dari 20 bulan, penyiraman air keras terhadap Novel belum juga bisa diungkap. Desakan membentuk tim gabungan pencari fakta juga masih menjadi wacana yang tak berujung. Tidak ada juga penjelasan memadai, selain penyidikan masih berlangsung, mengapa kasus Novel belum juga terungkap.
Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap mengatakan, ada sembilan teror terhadap pegawai KPK sejak 2011. Semua teror itu belum terungkap. Teror terhadap dua unsur pimpinan KPK adalah ancaman berat terhadap agenda pemberantasan korupsi sebagai bentuk perang psikologis. Memang menjadi pertanyaan, mengapa semua teror terhadap upaya pemberantasan korupsi tidak pernah bisa diungkap.
Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi SP memberikan reaksi normatif. Polisi tengah menyelidiki kasus itu. Di negara demokrasi, tidak boleh ada intimidasi kepada penegak hukum.
Teror terhadap unsur pimpinan KPK terjadi delapan hari menjelang debat pertama calon presiden pada 17 Januari 2018. Debat pertama akan membahas tema soal hak asasi manusia, korupsi, hukum, dan terorisme. Teror terhadap KPK dan unsur pimpinan KPK bisa saja menjadi salah satu fokus yang dipertanyakan publik, khususnya soal keberpihakan petahana terhadap para pemberantas korupsi yang mengalami teror.
Teror terhadap unsur pimpinan KPK adalah ujian bagi otoritas negara. Dengan kemampuan sumber daya manusia dan peralatan yang dimiliki Polri, publik berharap Polri bisa segera mengungkap kasus teror terhadap KPK, seperti ketika Polri mengungkap kasus Ratna Sarumpaet. Jika kasus besar yang menarik perhatian publik itu tak kunjung terungkap, spekulasi bisa bergerak liar.
Peneror yang tidak terungkap memiliki dua peran. Membangkitkan ketakutan dan sekaligus mendelegitimasi otoritas. Hak atas rasa aman adalah bagian dari hak asasi manusia yang harus dihadirkan negara. Karena itu, tidak ada jalan lain, Polri harus mengungkap siapa dan apa motif di balik teror terhadap KPK. Hanya dengan kerja keras dan tekad kuat serta dukungan politik Presiden Joko Widodo, kita yakin Kepolisian Negara Republik Indonesia bisa mengungkap teror terhadap KPK. Apabila tidak, kepercayaan publik bisa kian memudar.