Pemerintah Dinilai Tak Serius Kendalikan Konsumsi Rokok
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah tidak menaikkan cukai rokok pada Desember 2018, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Keputusan ini pun menuai berbagai kritikan, salah satunya dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau YLKI yang menilai pemerintah tidak serius dalam mengendalikan peredaran rokok.
"Baru terjadi dalam sejarah di negeri ini, cukai rokok tidak dinaikkan. Padahal mandat UU (Undang-Undang) tentang Cukai, cukai rokok bisa dinaikkan hingga 57 persen. Sementara besaran cukai eksisting saat ini baru mencapai 38 persenan. Bandingkan dengan rerata internasional, standar WHO (World Health Organization), cukai rokok minimal sebesar 75 persen dari harga retail," kata Ketua YLKI Tulus Abadi, Jumat (11/1/2018).
Menurut Tulus, cara paling konkrit mengendalikan konsumsi rokok adalah dengan menaikkan cukai rokok. Namun selama ini, persentase kenaikan cukai rokok amat minim. Pada 2017, kenaikan cukai rokok hanya 10,14 persen. Tak heran cukai rokok di Indonesia menjadi salah satu cukai rokok terendah di dunia.
Rendahnya cukai akan mengakibatkan harga rokok murah sehingga lebih mudah pula diakses, sekalipun oleh kelompok rentan, seperti anak-anak, remaja, dan kalangan rumah tangga miskin. Apalagi rokok bisa dijual per batangan.
Berdasarkan laporan "Tabacco Tax Reform at the Crossroads of Health and Development" oleh World Bank Group pada pada 2017, jumlah perokok di Indonesia berumur 15 tahun ke atas ada 61 juta orang. Sementara untuk 0-34 tahun ada 58 juta orang. Jumlah ini berada di posisi ketiga terbesar dari 21 negara yang dipilih untuk diteliti.
Pada pada 2017, jumlah perokok di Indonesia berumur 15 tahun ke atas ada 61 juta orang
Masih dalam laporan yang sama, untuk jumlah perokok di Indonesia yang berhenti pada usia 45-64 tahun, menjadi yang terendah dibandingkan negara lain. Hanya 11 persen yang berhenti merokok memasuki umur tersebut. Artinya, dari 17 juta perokok, hanya 2 juta orang yang berhenti.
Jika dibandingkan dengan negara yang memiliki jumlah perokok terbanyak, Cina, dapat membuat penduduknya berhenti merokok 15 persen atau dari 115 juta perokok di umur 45-64 tahun, yang berhenti merokok ada 21 juta orang.
YLKI juga mengkritik Dewan Perwakilan Rakyat yang berencana mengesahkan Rancangan UU Pertembakauan. Rancangan ini dinilai akan menjadi legitimasi industri rokok untuk memproduksi dan memasarkan produk rokok secara masif, nyaris tanpa kendali.
Padahal, rokok tidak hanya merugikan sisi kesehatan, tetapi juga aspek ekonomi masyarakat. Sehingga menghambat pembangunan berkelanjutan.
Menurut anggota Komnas Pengendalian Tembakau Jalal, produksi dan konsumsi rokok menyulitkan pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium atau Millenium Development Goals (MDGs). Paradigma pembangunan global oleh PBB ini menargetkan tercapainya kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat.
Apabila produksi dan konsumsi rokok tidak dikendalikan, pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) 2016-2030 juga semakin sulit. Berdasarkan kajian Von Eichborn dan Abshagen pada 2015, rokok merugikan manusia karena meningkatkan kemiskinan, kelaparan, dan memperparah ketimpangan ekonomi dan sosial.
Hasil kajian itu juga menyebutkan rokok menghambat pembangunan manusia. Ditambah lagi rokok dapat menghancurkan lingkungan karena mengakibatkan kotornya pemukiman, meracuni air tawar dan laut, serta menjadi penyebab deforestasi.
Selain tidak menaikkan cukai rokok, pemerintah juga tidak menaikkan batasan harga jual minimum untuk hasil pengolahan tembakau lainnya. Sementara untuk mencapai target penerimaan cukai hasil tembakau pada 2019, Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan akan memfokuskan pada pemberantasan rokok ilegal dan pengenaan cukai terhadap produk hasil pengolahan tembakau (Kompas.id, 16/12/2018).
"Sangat ironis, ketika Indonesia defisit anggaran, pemerintah malah tidak menaikkan cukai rokok," tutur Jalal. (SITA NURAZMI MAKHRUFAH)