Perkuliahan Pendidikan Agama Islam Mendesak Dibenahi
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kurikulum pendidikan agama Islam di perguruan tinggi keagamaan Islam belum sepenuhnya mengembangkan pola pemikiran yang kritis maupun melakukan tinjauan makna keagamaan yang substantif. Hal ini sangat berpengaruh kepada pembentukan karakter para calon guru agama Islam yang tidak hanya harus memiliki wawasan kebangsaan, tetapi juga bisa mendidik siswa akan pemahaman agama yang moderat.
Hal tersebut terungkap pada pembedahan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Islam dan perubahan Sosial (CISForm) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga yang berjudul “Menanam Benih di Ladang Tandus: Potret Sistem Produksi Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Indonesia” yang diluncurkan di Jakarta, Kamis (10/1/2019).
Penelitian dilakukan terhadap dosen dan mahasiswa tingkat akhir di program studi PAI di 19 perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI) negeri dan swasta di Padang (Sumatera Barat), Lampung, Jakarta, Serang (Banten), Yogyakarta, Solo (Jawa Tengah), Malang (Jawa Timur), Makassar (Sulawesi Selatan), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), dan Lombok (Nusa Tenggara Barat).
“Ternyata, mata kuliah kompetensi profesional PAI hanya mencakup 30 persen dari keseluruhan kurikulum,” kata Koordinator Peneliti CISForm Muhammad Wildan. Isi materi tersebut lebih banyak fokus kepada teknis pedagogis, yaitu cara berkomunikasi kepada siswa dan cara mengelola kelas.
Substansi keilmuan keagamaan yang kritis sangat kurang. Mata kuliah filsafat ilmu dan logika tidak mendalam sehingga kurang mengembangkan pola berpikir yang kritis. Kajian ilmu Islam yang diterapkan sangat berorientasi kepada agama sebagai ibadah daripada tinjauan Islam sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan, dan mengatur kehidupan sosial yang damai dan saling menghargai.
“Hal ini ditambah dengan lingkungan di beberapa kampus PTKI juga tidak mendukung tumbuh kembangnya cara berpikir kritis, baik untuk mahasiswa maupun dosen. Kegiatan ekstrakurikuler juga lebih banyak condong kepada praktik ritual keagamaan dibandingkan diskusi-diskusi yang membuka cara pandang baru,” ujar Wildan.
Dosen pasif
Peneliti CISForm Sekar Ayu Ariani mengatakan, masalah semakin pelik karena para dosen juga tidak memiliki sikap ilmiah. Mereka lebih banyak berceramah di kelas, dibandingkan menerapkan pembelajaran yang aktif. Dosen juga jarang memutakhirkan materi kuliah mereka. Materi yang diajar umumnya masih sama dengan belasan, bahkan puluhan tahun lalu. Dosen juga nyaris tidak pernah melakukan penelitian.
“Ketika diwawancara, para dosen beralasan tidak punya waktu karena dikejar target pemenuhan kurikulum. Bahkan, beberapa secara terang-terangan mengaku malas memutakhirkan bahan kuliah, apalagi membahas permasalahan keagamaan kontemporer,” papar Sekar.
Ketika ditelusuri lebih dalam, ternyata dosen juga banyak menggunakan informasi dari internet, termasuk media sosial sebagai landasan materi kuliah. Bukan untuk dibahas secara kritis, melainkan karena 56,8 persen dari 119 dosen yang diteliti mengaku tidak bisa membaca teks-teks berbahasa Arab dan 63,9 persen dosen mengaku tidak bisa berbicara bahasa Arab.
“Kesulitan membaca teks, apalagi menafsirkannya, mengakibatkan dosen banyak mencari penjelasan mengenai ilmu agama di internet dan media sosial,” ujar Sekar.
Mahasiswa mengetahui bahwa dosen-dosen juga mengakses informasi di media sosial, sama seperti mereka. Hal ini membuat mahasiswa lebih mengidolakan para penceramah di internet dibandingkan mendengarkan kuliah. Akibatnya, baik dosen dan mahasiswa sama-sama terpengaruh pemahaman keagamaan yang ekslusif, konservatif, dan intoleran.
Dosen studi agama dan lintas budaya Universitas Gadjah Mada Zainal Abidin Bagir yang hadir sebagai penanggap menerangkan, masalah di prodi PAI sebenarnya merupakan masalah yang dialami di berbagai prodi secara umum. Target pemenuhan kurikulum dijadikan alasan tidak berkembangnya perkuliahan yang menajamkan rasionalitas. Menurut dia, harus ada aturan mengenai kewajiban pemutakhiran materi kuliah dan penelitian.
“Di samping itu, isu berkembangnya pemikiran yang intoleran dan ekstrem di prodi PAI tidak datang dari kampus saja, melainkan dari lingkungan sekitar karena ini adalah masalah sosial,” ucapnya Zainal.
Solusinya adalah membuka ruang-ruang pertemuan tidak hanya antara agama yang berbeda-beda, tetapi juga antar aliran di dalam agama yang sama. Melalui pertemuan yang rutin dan berkesinambungan persepsi bisa diubah. Zainal mengungkapkan, sekolah-sekolah maupun kampus bisa melakukan pembahasan materi keagamaan berdasarkan perspektif agama yang berbeda-beda.
“Hendaknya dimulai dari sekolah, jangan menunggu ketika di perguruan tinggi. Pelajaran agama di SD, SMP, dan SMA misalnya, memiliki jadwal rutin diskusi siswa-siswa lintas agama,” tuturnya.