SANA\'A, KAMIS -- Kelanjutan gencatan senjata dan proses perdamaian di Yaman terancam. Bom yang dilepaskan milisi Houthi melalui pesawat tanpa awak pada Kamis (10/1/2019) di Lahaj, Yaman bagian selatan, menjadi penyebabnya.
Houthi membenarkan telah menjatuhkan bom melalui pesawat tanpa awak. Bom mengenai penonton dan peserta parade militer di Pangkalan Udara Al-Anad di Provinsi Lahaj. Akibat serangan itu, enam orang tewas dan 12 orang lainnya terluka. Paramedis di Rumah Sakit Ibn Khaldoun menyebut korban luka termasuk beberapa perwira penting di pasukan Pemerintah Yaman.
Dalam rekaman video yang beredar, bom dijatuhkan di sekitar panggung. Di sana, belasan prajurit berdiri. Setelah bom meledak, mereka berlarian mengevakuasi korban luka dengan kendaraan dinas tentara.
Wakil Panglima Angkatan Bersenjata Yaman Saleh al-Zandani, Kepala Intelijen Tentara Brigadir Jenderal Saleh Taman, dan komandan senior Fadel Hasan termasuk dalam daftar korban luka. Gubernur Lahaj Ahmad Abdullah al-Turki juga terluka dan ikut dirawat di RS Ibn Khaldoun. Panglima Yaman Jenderal Abdullah al-Nakhi juga menghadiri parade itu. Tidak ada keterangan bahwa ia ikut menjadi korban.
Kantor berita milik Houthi, Al-Masirah, menyatakan, serangan itu menyasar penjajah dan prajurit bayaran di pangkalan udara. Serangan itu diklaim menyebabkan belasan orang terluka dan tewas.
Sejak kesepakatan di Swedia dibuat, Desember 2018, proses perdamaian berjalan lambat di Yaman. Serangan bom di Lahaj menambah tekanan pada proses perdamaian yang lambat itu.
Seorang jurnalis yang berada di lokasi serangan, Nabil al-Qaiti, mengatakan bahwa dia melihat pesawat tanpa awak mendekat dan mengapung sekitar 25 meter dari tanah. Pesawat itu terlihat beberapa menit setelah parade dimulai dan juru bicara militer Mohammed al-Naqib sedang berpidato di panggung. ”Ledakannya benar-benar kuat dan kami bisa merasakan tekanannya,” ujar Qaiti.
Ia melihat banyak orang di dekatnya terluka, dan tidak melihat orang tewas. ”Pesawat dilengkapi peledak,” katanya.
”Sekali lagi ini membuktikan penjahat Houthi tidak siap berdamai dan mereka memanfaatkan gencatan senjata untuk penguatan pasukan. Kini saatnya komunitas internasional dan pemerintahan sah memaksa milisi menyerahkan persenjataan dan mundur dari kota- kota,” kata Menteri Komunikasi Yaman Moammar al-Eryani.
Parade itu dihadiri sekitar 8.000 tentara. Sejumlah perwira tinggi dan pejabat penting di militer Yaman serta dua gubernur menghadiri parade itu.
Pangkalan tempat parade itu dibangun oleh Uni Soviet pada masa perang dingin. Amerika Serikat pernah menggunakan pangkalan itu sebagai markas pesawat tanpa awak selama perang melawan Al Qaeda di Semenanjung Arab sampai 2014.
Upaya lanjutan PBB
Serangan itu terjadi beberapa hari setelah Utusan Khusus PBB untuk Yaman Martin Griffiths menyatakan rasa optimistisnya soal Yaman. Ia menyebut proses perdamaian di negara itu terus berlangsung.
Proses damai antara milisi Houthi dan Pemerintah Yaman disepakati dalam pertemuan di Swedia, Desember 2018. Dalam pertemuan itu disepakati gencatan senjata di Hodeidah, diikuti mundurnya milisi Houthi dari Pelabuhan Hodeidah.
Griffiths menyebut proses penarikan mundur milisi Houthi, akses kemanusiaan, dan isu lain yang disepakati di Stockholm berlangsung lambat. Ia mendesak para pihak meningkatkan upaya mereka. ”Percepatan implementasi amat penting,” kata Griffiths.
Ia mendesak para pihak secara rutin berhubungan dengan itikad baik dengan tim pengawas PBB yang dipimpin Mayor Jenderal (Purn) Patrick Cammaert. Griffiths juga memperingatkan, langkah kecil menuju perdamaian di Yaman masih rapuh.
Pertemuan lanjutan akan digelar di Jordania, pekan depan, untuk menindaklanjuti pertukaran tawanan yang disepakati kedua pihak. Adapun PBB menjadwalkan pertemuan baru untuk konsultasi—mungkin digelar di Kuwait—dengan sasaran menyusun draf kerangka politik untuk mengakhiri konflik.
Yaman dilanda kecamuk perang saudara tahun 2014 saat Houthi menguasai ibu kota Sana’a. Pada Maret 2015, koalisi pimpinan Arab Saudi mengambil bagian dalam perang tersebut. (AP/AFP/RAZ)