JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memastikan tidak ada perubahan tarif listrik setidaknya sampai akhir tahun ini. Di kawasan ASEAN, tarif listrik di Indonesia relatif lebih murah untuk jenis pelanggan rumah tangga, bisnis, dan industri. Pembangkit listrik dari tenaga uap masih diandalkan untuk memproduksi listrik dengan harga murah.
Dengan demikian, tarif listrik pelanggan tengangan rendah (rumah tangga) tetap Rp 1.467,28 per kilowatt jam (kWh). Adapun pelanggan tengangan tinggi, seperti sektor industri dengan daya lebih dari 30 megavolt ampere (MVA), tetap Rp 996,74 per kWh. Sementara pelanggan tegangan menengah dengan daya di atas 200 kilovolt ampere Rp 1.114,74 per kWh.
”Dasarnya adalah untuk menciptakan tarif listrik yang terjangkau masyarakat. Selain itu, ini akan menjadi daya tarik bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia. Kalau listrik tidak murah, kita akan kalah oleh negara tetangga,” kata Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Andy Noorsaman Sommeng, Kamis (10/1/2019), di Jakarta.
Tarif listrik untuk jenis rumah tangga di Indonesia, kata Andy, lebih murah dibandingkan Thailand, Singapura, Filipina, dan Vietnam, tetapi masih lebih mahal dibandingkan di Malaysia. Untuk industri besar, tarif listrik di Indonesia 7,47 sen dollar AS per kWh atau sedikit lebih mahal dari Vietnam sebesar 7,29 sen dollar AS per kWh. Pemerintah menargetkan konsumsi listrik per kapita tahun ini mencapai 1.200 kWh atau lebih tinggi dari realisasi 2018 sebanyak 1.064 kWh per kapita.
Tarif listrik untuk jenis rumah tangga di Indonesia lebih murah dibandingkan Thailand, Singapura, Filipina, dan Vietnam.
Menurut Andy, PLTU masih diandalkan pemerintah untuk menghasilkan listrik yang andal dan murah di Indonesia. Selain itu, pembangunan PLTU saat ini juga bisa lebih cepat atau rata-rata 4-5 tahun. Selain itu, ketersediaan batubara di dalam negeri dengan harga jual yang ditentukan pemerintah menjadi penopang penting untuk mewujudkan tarif listrik murah.
Sementara itu, Kepala Satuan Komunikasi Korporat PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) I Made Suprateka mengatakan, secara prinsip, PLN tak keberatan dengan keputusan pemerintah untuk tak menaikkan tarif listrik pada saat harga batubara naik. Kebijakan penepatan harga khusus untuk batubara yang dijual ke PLN juga membantu menghemat keuangan PLN. Selain itu, pengurangan pembangkit berbahan bakar solar cukup menekan pengeluaran biaya operasi PLN.
”Efisiensi operasi pasti dilakukan. Selain itu, kami juga berusaha keras untuk terus menambah jumlah pelanggan,” ujar Made.
Program 35.000 MW
Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Jisman Hutajulu menambahkan, untuk program pembangkit 35.000 megawatt (MW), sebanyak 2.899 MW sudah beroperasi. Adapun pebangkit yang masih dalam tahap konstruksi sebanyak 18.207 MW dan pembangkit yang sudah menandatangani perjanjian jual beli tenaga listrik 11.467 MW. Sisanya masih dalam tahap perencanaan dan pengadaan.
”Tahun ini kami menargetkan penambahan kapasitas terpasang untuk program 35.000 MW ada sebanyak 3.900 MW. Lainnya akan ada penambahan transmisi ataupun pembangunan gardu induk,” kata Jisman.
Tiga faktor utama yang memengaruhi besaran tarif listrik Indonesia adalah harga batubara, harga minyak Indonesia (CPI), dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. PLN sempat merugi belasan triliun rupiah pada 2017 saat harga batubara tinggi, sedangkan pemerintah memutuskan tidak ada kenaikan tarif listrik. Pemerintah sudah memutuskan harga batubara untuk pembangkit PLN maksimum 70 dollar AS per ton untuk kadar 6.322 kalori per kilogram.
Capaian sektor ketenagalistrikan sepanjang 2018 antara lain nilai investasi yang naik menjadi 11,28 miliar dollar AS dibandingkan realisasi 2017 sebanyak 9,06 miliar dollar AS. Selain itu, rasio elektrifikasi sampai akhir 2018 adalah 98,3 persen atau melampaui target yang ditetapkan sebesar 95,37 persen. Rasio elektrifikasi adalah perbandingan jumlah penduduk yang mengakses listrik dengan jumlah populasi di suatu wilayah.