JAKARTA, KOMPAS - Aksi teror terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi jelang pemilihan umum 2019 dianggap dapat menimbulkan spekulasi liar. Kepolisian diharapkan mampu mengusut tuntas kasus itu karena mempertaruhkan kredibilitas instansi dan pemerintah.
Hasil pemeriksaan kepolisian terhadap saksi belum dapat memberikan gambaran lebih jelas terkait teror terhadap Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif. Pasalnya, tidak ada saksi yang melihat secara langsung kejadian.
Sosiolog Imam Prasodjo mengatakan, kasus teror terhadap KPK dapat menimbulkan bermacam-macam spekulasi, mulai dari tekanan atau ancaman dari koruptor dan orang yang terindikasi korupsi sampai keseriusan penegak hukum mengusut tuntas kasus itu. Apalagi di tahun politik, spekulasi dapat berkembang liar dan tak terkendali.
"Dulu muncul anggapan ketidakseriusan penegak hukum mengusut kasus teror terhadap KPK. Kemudian, berkembang jadi ketidakseriusan pemerintah sampai desakan membentuk tim independen. Memasuki tahun politik, dapat berkembang lagi jadi tunggangan kelompok tertentu dan serangan terhadap pihak tertentu untuk memperoleh popularitas. Celah-celah seperti itu riskan dimanfaatkan," ucap Imam, ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (11/1/2018).
Imam menyebutkan, kepolisian perlu bekerja ekstra keras untuk mengusut tuntas kasus itu karena kredibilitas kepolisian dan pemerintah dipertaruhkan. Selain itu, pengusutan yang tuntas dapat memberikan kepastian pada masyarakat maupun menunjukkan kompetensi kepolisian.
Teror terhadap unsur pimpinan KPK terjadi delapan hari menjelang debat pertama calon presiden pada 17 Januari 2018. Debat pertama akan membahas tema soal hak asasi manusia, korupsi, hukum, dan terorisme. Teror terhadap KPK dan unsur pimpinan KPK bisa saja menjadi salah satu fokus yang dipertanyakan publik, khususnya soal keberpihakan petahana terhadap para pemberantas korupsi yang mengalami teror (Kompas, 11/1/2018).
Pemeriksaan intensif
Polisi memeriksa enam saksi pada kasus peletakan bom palsu di rumah Agus. Keenam saksi itu di antaranya orang yang melihat barang berupa tas berisi benda mirip rakitan bom yang dicantolkan di pagar. Selain itu juga ada pedagang bubur yang melihat ada orang datang dan menanyakan rumah ketua RT setempat dan rumah Ketua KPK.
Terkait pelemparan dua bom molotov ke kediaman Laode, polisi telah memeriksa 12 saksi yang dekat lokasi kejadian. Dua orang di antaranya diperiksa di Kepolisian Daerah Metro Jaya, sementara 10 saksi lain dimintai keterangan di lapangan. ”Dua orang yang dibawa ke polda karena mereka adalah saksi yang paling dekat dengan tempat kejadian perkara saat terjadi aksi teror,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo, Kamis (10/1/2019), di Jakarta.
Saat ini Polri tengah memeriksa data rekaman dari empat kamera pemantau (CCTV) yang berada di sekitar kediaman Laode. Rekaman tersebut akan dianalisis menit per menit untuk menemukan titik asal pelaku dan menentukan urutan kejadian secara kronologis.
Kedua rekaman CCTV itu sudah diambil dan diteliti di Pusat Laboratorium Forensik Polri. ”Kami ingin melihat dan mengetahui ketajaman kualitas gambar sehingga diketahui siapa yang ada di rekaman,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono.
Secara terpisah, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, KPK telah menurunkan tim untuk berkomunikasi serta mengoordinasikan keperluan penyidikan dan penyelidikan yang mungkin akan dibutuhkan Polri, termasuk soal jadwal pemeriksaan Agus dan Laode.
”Sudah ada koordinasi langsung yang dilakukan, baik untuk pengamanan maupun kebutuhan permintaan informasi. KPK terbuka dalam melakukan kerja sama dengan Polri untuk mengungkap kasus ini,” Febri. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY)