Meski dinobatkan sebagai kota metropolitan cerdas ketiga se-Indonesia oleh Kompas dalam Indeks Kota Cerdas Indonesia 2019, Tangerang Selatan, Banten, masih dibayangi patologi sosial. Tingkat kejahatan meningkat pada 2018 dibandingkan tahun sebelumnya. Komunitas berpagar sebagai produk pengembangan real estat diduga menjadi salah satu penyebab.
Sepanjang 2018, Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Tangerang Selatan menerima 1.205 laporan tindak pidana dari masyarakat. Jumlah ini meningkat dari 952 pada 2017. Namun, tingkat penyelesaian kasus juga meningkat pada 2018, yaitu 68,71 persen. Pada tahun sebelumnya, jumlah kasus yang diselesaikan 59,9 persen.
Jenis kejahatan meliputi pencurian dan perampokan, pengeroyokan, penipuan dan penggelapan, serta kekerasan terhadap anak. Ditemui pada Jumat (11/1/2019), Kepala Satreskrim Polres Tangerang Selatan Ajun Komisaris Alexander Yurikho mengatakan, kejahatan memang tidak dapat dihilangkan sepenuhnya dan dapat terjadi di mana saja.
”Kita harus berpikir bahwa crime is the shadow of civilization. Di mana ada peradaban, di situ ada kejahatan. Kejahatan bisa terjadi di mana saja di tujuh kecamatan Tangerang Selatan,” kata Alexander.
Kendati begitu, Alexander mengatakan, tingkat kriminalitas jauh lebih rendah di wilayah yang dibangun oleh pengembang. Sebab, kawasan real estat telah memiliki pengamanan mandiri. Sistem kluster pun dinilainya sudah modern, misalnya dengan penerapan pencegahan kejahatan dengan desain lingkungan (crime prevention through environmental design/CPTED) dalam bentuk kamera pemantau (CCTV).
”Tidak bisa dibohongi, mereka yang memiliki rumah di kawasan real estat adalah mereka yang bekerja dan punya uang. Kriminalitas tetap terjadi di sana, tetapi masih jauh lebih aman dibandingkan daerah yang tidak dimasuki pengembang seperti Pamulang dan Ciputat,” kata Alexander.
Warga Pamulang, Ryan (23), mengatakan, wilayah sekitar tempat tinggalnya memang kurang aman. Begal berusia di bawah 18 tahun merupakan fenomena biasa, begitu juga dengan premanisme.
Komaruddin (34), pengojek daring, juga merasa daerah tempat tinggalnya di Jombang, Ciputat, tidak aman. Beberapa kali kepolisian menggerebek pengguna dan pedagang narkoba di kampung sekitar kontrakannya. Satuan Reserse Narkoba Polres Tangerang mencatat, kasus narkoba meningkat dari 269 pada 2017 ke 313 pada 2018.
Sejumlah wilayah Tangerang Selatan yang dibangun oleh beberapa pengembang besar, antara lain Bumi Serpong Damai City, Alam Sutera, Summarecon Serpong, dan Bintaro Jaya. BSD City, Alam Sutera, dan Summarecon yang terpusat di wilayah Serpong memiliki area seluas 75,5 kilometer persegi, lebih dari setengah luas total Tangerang Selatan, yaitu 147,2 kilometer persegi.
Terkait dengan tren tersebut, Satuan Pembina Masyarakat Polres Tangerang Selatan melaksanakan langkah pencegahan kriminalitas dengan mengadakan penyuluhan dan diskusi kelompok terhadap siswa, karang taruna, organisasi masyarakat, hingga aparat keamanan lainnya. Selama 2018, diadakan 30 penyuluhan dan 12 diskusi mengenai berbagai topik.
Kepala Satbinmas Polres Tangerang Selatan Ajun Komisaris Vilawati mengatakan, penyuluhan tersebut lebih banyak dilaksanakan di permukiman yang tak dibangun pengembang. ”Di real estat, kegiatan warga kalangan menengah atas lebih terpola dan terjadwal sehingga ruang gerak untuk bertindak kriminal lebih kecil. Kejahatan lebih rawan terjadi di permukiman biasa,” katanya.
Menurut Vilawati, konsentrasi warga yang putus sekolah dan tidak bekerja lebih banyak di luar real estat sehingga kejahatan lebih sering terjadi di area tersebut. Adapun faktor pergaulan dan lingkungan pertemanan juga memengaruhi, terutama terkait kasus tawuran atau pengeroyokan.
Mereka tidak bisa menyentuh warga di real estat karena pengamanannya ketat dan temboknya tinggi.
Sebelumnya, Tangerang Selatan mendapatkan peringkat ketiga kota metropolitan se-Indonesia dengan skor 61,68. Selain karena pemerintahan yang didukung aplikasi, seperti SIARAN (Sistem Pelaporan dan Penugasan), Tangerang Selatan juga didukung kreativitas masyarakatnya, misalnya kegiatan komunitas LabTanya yang melibatkan warga dalam berbagai aktivitas seni serta membangun permukimannya.
Ketimpangan
Studi Vesselinov dan Cazessus (2007) di Amerika Serikat menyimpulkan, permukiman real estat yang disebut komunitas berpagar (gated community) mempertegas ketimpangan sosial di masyarakat. Real estat yang dibangun oleh pengembang didominasi oleh warga berpendidikan tinggi, sementara mayoritas warga permukiman biasa adalah warga tanpa gelar perguruan tinggi.
Real estat juga lebih banyak dihuni oleh profesional di pasar tenaga kerja primer, seperti pebisnis, pengacara, dan dokter. Adapun permukiman nonreal estat dihuni warga di pasar tenaga kerja sekunder, seperti tukang kebun, dan petugas kebersihan, dan petugas keamanan.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Derajad Widhyharto, Senin (7/1/2019), yang sedang melaksanakan riset tentang komunitas berpagar di Kabupaten Tangerang dan Tangerang Selatan, mengatakan, kehadiran pengembang real estat menyediakan permukiman untuk kelas menengah yang bekerja di Jakarta. Efeknya adalah kesenjangan.
”Mereka yang gagal berkompetisi secara ekonomi, mayoritas masyarakat asli Tangerang Selatan, termarjinalkan. Muncullah narasi baru di kota ini, yaitu si kaya dan si miskin. Orang akan dengan mudah mengatakan, ’orang kaya itu yang tinggal di BSD’. Tembok-tembok perumahan menimbulkan kesenjangan,” kata Derajad.
Berdasarkan data Pemerintah Kota Tangerang Selatan, rasio gini Tangerang Selatan mencapai 0,33 pada 2011. Angka tersebut berfluktuasi menjadi 0,23 pada 2012 dan 0,28 pada 2013.
Derajad mengatakan, akumulasi dari kesenjangan itu adalah kriminalitas antarwarga nonreal estat. Kesulitan dalam bersaing secara ekonomi yang berkelindan dengan tuntutan hidup yang tetap tinggi.
”Mereka tidak bisa menyentuh warga di real estat karena pengamanannya ketat dan temboknya tinggi. Akhirnya, yang terjadi adalah kriminalitas dalam konteks umum,” kata Derajad.
Tangerang Selatan memang telah dinobatkan sebagai kota metropolitan cerdas. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang menunggu diselesaikan. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)