Kuburan Para Raksasa
Setelah puluhan tahun, konflik di Afghanistan terus bertahan. Kekalahan berbagai kekuatan besar dunia membuktikan, senjata tidak dapat menyelesaikan konflik.
Macedonia, Mongolia, India, Inggris Raya, Uni Soviet, dan Amerika Serikat pernah dan masih tercatat sebagai bangsa besar dan kuat di Bumi. Di Afghanistan, mereka mempunyai satu kesamaan: kalah dan terusir dari Afghanistan.
Menjelang Natal 2018, Presiden AS Donald Trump mengumumkan akan menarik separuh dari sekitar 14.000 tentara AS di sana. Meski tak memastikan kapan penarikan itu dilakukan, pengumuman itu menunjukkan satu hal: musuh yang diburu AS tak kalah. ”Afghanistan kembali menunjukkan kepada dunia sebagai bangsa yang mustahil dikalahkan,” kata Wakil Tetap Rusia di PBB, Vassily Nebenzia.
Di era pemerintahan Barack Obama, AS juga pernah mengumumkan mundur dari Afghanistan. Namun, di bawah komando operasi ”Penjaga Kebebasan” yang resmi berlangsung sejak 2015 sampai sekarang, AS masih mempertahankan sekitar 14.000 tentaranya yang bergabung dengan ribuan tentara dari negara lain itu.
Mereka terutama bertugas melatih 312.000 aparat keamanan Afghanistan. Faktanya, para tentara AS terlibat dalam operasi militer. AS terutama menyerang Taliban dengan jet dan helikopter tempur. Sementara serangan darat dilakukan aparat Afghanistan.
Mahal
Afghanistan adalah perang yang mahal bagi AS. Saat Uni Soviet menyerbu Afghanistan pada 1979, AS terlibat di sana. Dari hanya ratusan ribu dollar AS per tahun, AS meningkatkan kucuran dana hingga ratusan juta dollar AS per tahun untuk mendukung operasi di Afghanistan. Dana itu dibelanjakan badan intelijen AS, CIA, untuk mendanai ”Operasi Angin Topan” yang bertujuan membantu milisi Afghanistan melawan Uni Soviet. Operasi itu berlanjut saat Uni Soviet angkat kaki pada 1989 dan perang saudara meletus di Afghanistan.
Sebagian milisi Mujahidin, yang dibantu AS saat melawan Uni Soviet, membentuk kelompok baru dalam perang sipil itu, Taliban. AS angkat kaki dari Afghanistan selama perang saudara. Peristiwa 9 September 2001 membuat AS kembali ke Afghanistan. Kali ini AS datang dengan sandi operasi Kebebasan Abadi. Tujuan utama operasi itu, memburu mantan sekutu AS, Taliban.
Sebagian besar anggota Taliban adalah orang Pashtun. Selama ribuan tahun, mereka membuat Lembah Bamiyan menjadi kuburan bagi kerajaan-kerajaan besar di Bumi.
Dalam pertempuran-pertempuran awal, Taliban dikalahkan. Namun, setelah 17 tahun perang berlangsung, Taliban menunjukkan mereka belum kalah. Inspektorat Jenderal Khusus Rekonstruksi Afghanistan (SIGAR) yang dibentuk AS menyebut Washington sudah menghabiskan ratusan miliar dollar AS di Afghanistan. Dana itu dipakai untuk operasi militer dan program rekonstruksi. SIGAR mencatat Washington membelanjakan 132 miliar dollar AS untuk rekonstruksi Afghanistan (2002-2018).
Meski sudah menghabiskan ratusan miliar dollar AS, operasi itu tidak menunjukkan kemajuan berarti. Taliban tetap kuat dan milisi mereka terus bertambah, dari sekitar 16.000 pada 2001 menjadi hingga 40.000 pada 2017. Bahkan, Taliban menunjukkan kekuatan lewat serangan pada 18 Oktober 2018 di Kandahar.
Komandan AS di Afghanistan, Jenderal Austin Scott Miller, nyaris menjadi korban dalam serangan itu. Kepala Kepolisian Kandahar Jenderal Abdul Raziq dan sejumlah gubernur tewas dalam serangan itu.
Sebaliknya, Pemerintah Afghanistan justru semakin lemah. Kabul hanya mengontrol 55,5 persen dari seluruh 407 distrik di Afghanistan. Taliban mengendalikan hingga 15 persen dan sisanya diperebutkan Taliban-Kabul. SIGAR mencatat, korupsi parah di berbagai lini Afghanistan sebagai penyebab kelemahan pemerintah.
Bahkan, dalam laporan pada Oktober 2018, SIGAR mengungkap korupsi senilai hampir 500 juta dollar AS juga dinikmati oleh warga AS di sana. Mereka yang terlibat: tentara, pegawai Pemerintah AS, dan kontraktor Pemerintah AS.
AS juga gagal dalam upaya membasmi narkotika di Afghanistan meskipun sudah 8 miliar dollar AS dihabiskan untuk itu. Pembasmian narkotika penting karena penjualan opium menjadi salah satu sumber pemasukan Taliban.
Belakangan, musuh Kabul dan koalisi AS bukan hanya Taliban. Setelah terusir dari Timur Tengah, Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) semakin menguat di Afghanistan. Selain itu, para panglima perang yang memimpin milisi dari berbagai suku juga terus jadi masalah bagi Washington dan Kabul.
Dalam buku In The Graveyard of Empires, America’s War in Afghanistan, Seth Jones memaparkan fakta lain. Taliban kuat karena hanya pasukan AS yang menghadapi mereka. Pasukan NATO disebut kerap meninggalkan pos di daerah terpencil. Hal itu menyebabkan banyak daerah tetap diduduki Taliban.
Paparan Jones di buku itu mirip dengan kekesalan Trump kepada NATO karena AS menanggung biaya terlalu besar dibandingkan dengan negara NATO lainnya.
Bangsa gigih
Sebagian besar anggota Taliban adalah orang Pashtun. Selama ribuan tahun, mereka membuat Lembah Bamiyan menjadi kuburan bagi kerajaan-kerajaan besar di Bumi. Mongolia melancarkan operasi penuh kemarahan setelah salah satu cucu Genghis Khan tewas dalam pengepungan Lembah Bamiyan pada 1221. Operasi itu menyebabkan banyak orang Pashtun tewas, dan dendam akibat peristiwa itu berlangsung sampai sekarang. Etnis Hazzara, yang berasal dari keturunan prajurit Mongol, menjadi sasaran kekerasan kelompok bersenjata Pashtun.
Kekaisaran Maurya dan Gandhara, keduanya dari India, juga merasakan sulitnya berhadapan dengan mereka.
Berabad kemudian, ganti Inggris Raya harus kerepotan di Afghanistan. Orang Pashtun terlibat dalam tiga perang sepanjang abad ke-18 dengan Inggris Raya. Sebagai kerajaan besar, Inggris harus menanggung malu karena diusir dari Afghanistan. Uni Soviet juga terusir di pengujung abad ke-20 dan AS mendapat giliran pada awal abad ke-21.
(AP/REUTERS)