Memberi Hidup, Menghapus Trauma
Kamis (10/1/2019) pukul 02.40, Karta (50) berdiri menatap langit dengan wajah gelisah. Suara gemuruh lantas menyandera rasa tenang. Dia bangunkan istri dan anaknya.
Sejak tsunami Selat Sunda menerjang pesisir Banten pada 22 Desember 2018, Karta menjalani malam tanpa mata terpejam. Ia biasa tidur hanya sekitar dua jam menjelang terang. ”Kalau malam, saya enggak tenang tidur, khawatir gelombang datang lagi,” ujarnya.
Karta beserta istri dan anaknya mengungsi ke sebuah bangunan tua bekas tempat pendidikan anak usia dini (PAUD) yang sudah kosong hampir tiga tahun di Desa Sukarame, Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang, Banten. Bangunan itu hanya berjarak 200 meter dari pantai.
Tsunami meluluhlantakkan rumah Karta di Kampung Citajur, Desa Sukarame. Ia melihat sendiri gelombang melumat permukiman warga. Meski berhasil menyelamatkan diri dan keluarga, Karta masih trauma.
”Saya lebih baik jalan sendiri di hutan daripada jalan di pinggir pantai kalau malam. Sekarang saya takut,” kata Karta yang setiap hari menggarap sawah milik orang dan beternak bebek.
Asep (40) turut menemani Karta terjaga malam itu. Ia menyorotkan senter telepon seluler ke bangunan yang berjarak 100 meter untuk memberi tahu warga lain yang juga sedang mengungsi.
Asep bersama sang ibu, Sunarti (62), juga mengungsi di kompleks PAUD itu. Seperti Karta, mereka selalu tak tenang mendengar gemuruh.
Bangunan tua yang ditinggali Karta dan keluarga rusak cukup parah. Atap bangunan jebol di mana-mana dan disangga kayu lapuk yang dikerumuni rayap. Saat hujan deras, hampir setiap sudut ruangan terkena tetesan air.
”Kami terpaksa tinggal di sini karena tak ada saudara yang (rumahnya) dapat ditumpangi. Warga lain juga tak berani menempati rumah,” kata Karta.
Baik Karta maupun Asep berharap dapat tinggal di tempat yang lebih layak sekaligus aman dari ancaman tsunami.
Seusai masa tanggap darurat pada Sabtu (5/1), Pemkab Pandeglang akan menyewakan rumah atau menyediakan tenda pengungsian yang layak dengan dilengkapi sanitasi kepada para penyintas yang rumahnya hancur.
Bupati Pandeglang Irna Narulita menyatakan, para penyintas akan diberikan bantuan sewa rumah sembari menunggu pembangunan hunian sementara (huntara) rampung. Irna telah menginstruksikan camat dan kepala desa untuk mendata penyintas yang rumahnya rusak parah dan butuh tempat tinggal yang layak.
Namun, seminggu seusai masa tanggap darurat, penyintas belum bermukim di hunian yang layak. Bahkan, Kepala Desa Sukarame Jaenal dan Sekretaris Desa Sukarame Sobri mengaku belum mengetahui rencana Pemkab Pandeglang memberi bantuan sewa rumah kepada para penyintas.
Ketika dikonfirmasi kembali, Irna mengakui, tidak semua penyintas tsunami yang tempat tinggalnya hancur akan disewakan rumah. ”Kalau semua warga dikontrakkan rumah, kan, pengeluaran jadi dobel, sementara anggaran terbatas. Namun, untuk yang benar-benar membutuhkan, tetap akan disewakan rumah,” kata Irna.
Harta tersisa
Kamis malam, Camat Carita Suntama mendatangi Karta dan Sunarti untuk menawari pindah lokasi. Namun, mereka mengatakan masih berpikir. Karta khawatir bebek-bebeknya hilang jika ditinggalkan. Sementara Sunarti biasa memulung di pantai. ”Hanya (bebek) itu (harta) yang tersisa,” ucap Bainah (35), istri Karta.
Para penyintas ini tidak hanya kehilangan rumah, tetapi juga terancam kehilangan mata pencarian. Banyak kapal nelayan juga rusak.
Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah berencana membantu memulihkan mata pencarian nelayan penyintas tsunami di Banten dan Lampung. Melalui program bengkel perahu nelayan, KKP akan memperbaiki kapal-kapal ikan yang rusak diterjang tsunami.
Di Lampung, pasokan benur ke petambak rakyat juga tersendat. Pasokan benur dari Kalianda, Lampung Selatan, merosot setelah tsunami. Pasokan benur, yang dua kali setiap pekan, dengan rata-rata 15 juta-25 juta ekor kini anjlok menjadi 2 juta-10 juta ekor.
Anggota Biro Budidaya Perhimpunan Petambak Pengusaha Udang Wilayah Lampung, Yohanes Kahno Waluyo, mengemukakan, akibat gangguan pasokan, kini petambak mengurangi tebar benur hingga 50 persen. ”Saat ini, kami mengurangi jumlah benur yang ditebarkan, dari biasanya satu kolam 50.000 ekor menjadi 25.000-30.000 ekor,” katanya.
Banyak keluarga penyintas tsunami, seperti Karta dan Sunarti, dalam posisi dilematis. Mereka memang trauma dan ingin pindah ke tempat baru, tetapi khawatir kehilangan sumber penghasilan. Bencana tidak hanya membuat mereka kehilangan harta benda, tetapi juga merenggut penghidupan mereka. (ILO/PDS/BAY/LKT)