Keterampilan dan pengalaman jadi tukang kayu sejak 2001 mendorong Nyarjan Prianto (43) berkreasi memanfaatkan limbah akar berbagai jenis pohon. Akar yang biasanya dibuang atau dibakar jadi arang, dia rangkai dan bangun menjadi patung bernilai estetis dan ekonomi.
Prianto membuat patung akar karena terinspirasi setelah melihat karya-karya olahan kayu apung di internet. "Saya kemudian ingin mencoba membuatnya sendiri," kata Anto sapaan Prianto saat ditemui di rumahnya yang juga menjadi bengkel kerjanya di RT 03/RW 04 Desa Kedungbenda, Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Rabu (10/10/2018).
Di halaman depan dan samping rumahnya, terhampar ratusan akar pohon bahan patungnya. Di beberapa sudut, berdiri gagah sejumlah patung akar kayu karyanya, baik yang sudah selesai dibuat, masih dalam proses pembuatan, maupun yang sudah dikemas untuk dikirim ke pemesan.
Patung yang dibuatnya antara lain berupa manusia pemanah, patung orangutan, patung burung elang, patung burung murai, patung kuda, serigala, patung rusa, dan patung tokoh animasi Groot.
Karena terbuat dari akar, tekstur patung pun tampak lebih hidup. Guratan-guratan wajah pada patung pemanah, misalnya, tampak alami, tegas, dan kokoh seperti pemanah yang sedang fokus membidik sasaran. Demikian juga dengan patung hewan, mulai dari burung, rusa, badak, banteng, dan orangutan. Patung-patung hewan itu tampak hidup karena permukaannya berasal dari akar yang berserat-serat kuat.
Anto mendapatkan akar berbagai pohon dari sejumlah wilayah, seperti Kebumen, Pemalang, dan tepian Sungai Serayu. Dia biasanya membeli akar itu dari kenalannya yang bekerja mengumpulkan akar-akar dari hutan. Harga bahan baku itu berkisar Rp 800.000 hingga Rp 3 juta per truk.
Akar-akar kayu itu antara lain berasal dari pohon jati, mahoni, laban, dan aneka akar kayu yang disebut sarah. "Akar-akar ini adalah sisa-sisa yang sudah dimakan rayap sehingga ketika dijadikan patung akan awet dan tidak lagi dimakan rayap," ujarnya.
Ada pula akar yang hanyut dan terendam di sungai. Akar-akar yang demikian biasanya mampu bertahan lama karena secara alami sudah diterpa berbagai cuaca. Dengan memanfaatkan akar yang hanyut di sungai, Anto juga mengurangi potensi pendangkalan sungai yang dapat memicu banjir dan merusak lingkungan sekitar.
Sesekali Anto mencari akar-akar kayu yang hanyut di Sungai Serayu ataupun di tepian aliran Sungai Klawing, Purbalingga. Sebab, letak kedua sungai ini jaraknya tidak kurang dari tiga kilometer dari rumah Anto.
Otodidak
Anto pernah merantau dan bekerja serabutan di Bandung selama tiga tahun. Setelah kembali ke Purbalingga, Anto memutuskan jadi tukang kayu dan secara otodidak, mulai membuat meja, kursi, pintu, kusen jendela, serta dipan atau tempat tidur kayu berbahan kayu mahoni, laban, dan jati.
Darah seni, terutama menggambar dan melukis, dalam diri Anto mengalir dari sang paman bernama Lasman yang sehari-hari membuat wayang. "Dulu ingin jadi pelukis, tetapi tidak kesampaian. Sekolah saja hanya lulus sekolah dasar karena tidak ada biaya. Belajar kayu juga otodidak dari melihat orang lain membuat aneka mebel," ujarnya.
Untuk membuat sebuah patung, Anto mengawalinya dengan menggambar sebuah sketsa pada selembar kertas. Sketsa dibuat sedetail mungkin, mulai dari kerangka patung, ukuran patung, dan juga gambar tampak depan, samping, serta belakang. "Sketsa ini dibuat sebagai pedoman saat membuat patung," ujar Anto yang telah membuat patung akar sejak 2 tahun lalu.
Setelah menggambar sketsa, Anto kemudian membuat kerangka patung dari besi. Kerangka antara lain terdiri dari bagian bawah berupa kaki, perut bawah hewan atau sosok manusia, tubuh, hingga kepala dan tangan. "Kerangka ini harus kuat dan kokoh karena biasanya patung ini dijadikan latar untuk berfoto, bahkan kadang orang dewasa atau anak-anak menaiki patung ini," tutur suami dari Ningsih (41).
Seusai membuat kerangka dari besi, tahap selanjutnya adalah memperkokoh kerangka dengan akar batang. Akar saling ditempel menggunakan sekrup, kemudian direkatkan dengan lem kayu yang sudah dicampur serbuk gergajian untuk menutupi bekas sekrup. Bagian tubuh hewan atau manusia disesuaikan dengan bentuk akar yang memiliki bentuk alamiah yang mirip. Seperti bagian pinggul dicari akar yang melengkung.
Adapun untuk detail wajah, Anto menggarapnya dengan pahatan-pahatan yang halus. Selain itu, pada bagian mata, bola mata dibuat dari resin sehingga berkesan menyala dan hidup sekaligus seolah-olah berbinar-binar seperti bernyawa.
"Perlu waktu sekitar 12-15 hari untuk membuat satu buah patung. Proses yang cukup lama biasanya sulit menemukan bentuk akar yang pas sesuai anatomi," ujarnya.
Anto menjual hasil karya mulai dari Rp 300.000 hingga Rp 7 juta per patung sesuai ukuran dan tingkat kesulitannya. Selain dipajang di depan rumah, Anto memanfaatkan teknologi informasi guna promosi, terutama melalui media sosial Facebook dengan akun Antox Wijaya dan Instagram dengan akun antox75wijaya.
Karya Anto sudah dipesan oleh sejumlah orang dari berbagai tempat di Nusantara, mulai dari Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Bali, Jawa Timur, Jakarta, dan Yogyakarta. Bahkan Kantor Taman Nasional Sebangau di Palangkaraya, Kalimantan Tengah memesan sejumlah patung satwa, di antaranya yang paling ikonik adalah patung orangutan.
Dia meyakini hasil kreasi akar limbah cukup prospektif. “Biasanya pemesan telepon atau kirim pesan WA,” ujar ayah dari Nurul Habib (17), Khoirul Anwar (15), dan Nayla Fauzia (11).