JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan tarif sejumlah maskapai penerbangan sebesar 5 persen sempat membuat masyarakat bereaksi. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, kenaikan tarif masih dalam batas wajar.
Beberapa minggu belakangan, kenaikan tarif pesawat terbang menjadi perbincangan hangat baik di masyarakat maupun dunia maya. Sejumlah warganet mengeluhkan kenaikan harga itu dengan berbagai macam cara, mulai dari mengeluh di media sosial sampai dengan membuat petisi.
Sekitar empat minggu lalu, seorang warganet, Iskandar Zulkarnain, membuat petisi di laman change.org dengan judul ”Turunkan Harga Tiket Pesawat Domestik Indonesia”. Hingga Sabtu (12/1/2019) sore, jumlah warganet yang menandatangani petisi mencapai 137.885 orang.
Tak hanya menandatangani petisi, warganet turut menuliskan komentar. Salah satunya adalah Enrico Oktriyano. ”Menaikkan harga boleh, tapi secara perlahan. Jangan langsung sekaligus, apalagi hingga 50 persen”, tulisnya.
Budi Karya Sumadi yang ditemui di Jakarta, Sabtu siang, mengatakan, kenaikan harga 5 persen masih wajar.
”Secara umum, kenaikan yang terjadi masih di bawah tarif batas atas. Selama ini, para maskapai itu perang tarif, jadi harganya lebih murah. Begitu ada penyesuaian menjadi harga normal seolah-olah harganya menjadi tinggi,” tutur Budi.
Budi berpesan kepada masyarakat agar memahami kondisi itu. Sebab, kenaikan tarif itu masih pada rata-rata harga pokok maskapai. Kenaikan tarif, menurut Budi, dilakukan pihak maskapai sebagai salah satu cara untuk bisa bertahan di industri penerbangan.
Menurut Budi, masalah yang lebih buruk akan muncul jika maskapai terus-terusan melakukan perang tarif. Sebab, dengan tarif murah, pihak maskapai mau tak mau harus menerapkan standar pelayanan minimal.
”Kita juga harus melindungi industri penerbangan supaya tidak rugi terus karena tarif murah,” kata Budi. Ia menjamin tahun ini tidak ada rencana kenaikan harga batas atas pesawat.
Senada dengan Budi, pengamat penerbangan Alvin Lie mengungkapkan, kenaikan tarif yang terjadi sebagai salah satu upaya menjaga iklim persaingan di industri penerbangan. Menurut dia, pada 2018 kondisi penerbangan secara global mengalami masa-masa sulit akibat kenaikan harga avtur. Dengan demikian, jika tarif tidak dinaikkan, maskapai penerbangan bisa terancam gulung tikar.
Salah satu warganet, Dessy, mengatakan, harga tiket pesawat domestik naik dua kali lipat. ”Harga tiket dari Semarang ke Palangkaraya lebih mahal daripada tiket Semarang ke Kuala Lumpur”, tulisnya dalam kolom komentar di petisi itu.
Permasalahan terkait dengan tarif domestik yang lebih mahal dari tarif penerbangan internasional ini, menurut Alvin, disebabkan oleh perbedaan harga avtur di dalam dan luar negeri. Hal itu menyebabkan maskapai lebih memilih mengisi avtur di luar negeri. Alvin mencontohkan, selisih harga avtur di Indonesia dan Malaysia mencapai 20-30 persen.
Tak hanya itu, beberapa negara seperti Singapura juga memberikan insentif kepada maskapai mana pun yang mau membuka rute penerbangan langsung dari daerah baru menuju ke Singapura.
”Insentif yang diterima berupa biaya promosi sebesar 100.000 dollar AS per tahun. Hal itu dilakukan Pemerintah Singapura untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke Singapura,” kata Alvin.
Penghapusan bagasi
Mulai 8 Januari 2019, maskapai penerbangan berbiaya rendah atau low cost carrier Lion Air secara resmi menghapus kebijakan bagasi gratis. Keputusan itu kemudian diikuti maskapai-maskapai penerbangan berbiaya rendah lainnya.
Sama seperti kenaikan tarif, hal itu juga sempat menimbulkan sejumlah protes dari masyarakat.
Menurut Alvin, keputusan menghapuskan bagasi gratis dan menaikkan tarif adalah hal wajar. Hal itu sebagai salah satu cara maskapai menutup kerugian yang selama ini ditanggung.
”Dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 185 Tahun 2015 disebutkan bahwa maskapai penerbangan berbiaya rendah diizinkan menjual tiket tanpa fasilitas bagasi gratis sehingga apa yang maskapai lakukan benar secara hukum,” tutur Alvin.
Penerapan bagasi berbayar sebenarnya sudah diterapkan sejumlah maskapai penerbangan berbiaya rendah di negara lain. Indonesia dapat dikatakan terlambat menerapkan kebijakan ini. (KRISTI DWI UTAMI)