JAKARTA, KOMPAS- Kerja sama dan kebersamaan semua pihak mesti digalang untuk menghadapi tantangan eksternal dan internal yang akan dihadapi Indonesia pada tahun ini. Kolaborasi dinilai sebagai kunci untuk menghadapi berbagai tantangan itu.
Pada 2018, Indonesia berhasil menghadapi tantangan dan gejolak. Keberhasilan itu ditopang kolaborasi dan kerja sama. Tahun ini, strategi yang sama kembali diterapkan.
“Kita optimistis menghadapi 2019,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2019 yang digelar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta, Jumat (11/1/2019) malam.
Menurut Wapres Kalla, kolaborasi merupakan langkah yang menguntungkan semua pihak.
Hal senada disampaikan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso. Menurut dia, Indonesia berhasil melewati volatilitas selama 2018 dengan baik. Kolaborasi menjadi kunci keberhasilan tersebut.
“Sinergi bersama antara OJK, kementerian, lembaga, dan pengusaha diperlukan. Dengan sinergi dan kolaborasi, niscaya bisa menghadapi tantangan,” kata Wimboh.
Dalam laporan Prospek Ekonomi Global 2019 yang dirilis Rabu (9/1/2019), Bank Dunia mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2019, dari 3 persen menjadi 2,9 persen. Pertumbuhan ekonomi negara-negara maju diperkirakan 2 persen pada tahun ini, sedangkan perekonomian negara-negara berkembang diperkirakan tumbuh 4,2 persen.
Bank Dunia dalam laporannya menyebutkan, situasi ekonomi global ”semakin suram”. Sebab, aktivitas manufaktur dan perdagangan internasional melambat, ketegangan perang dagang meningkat, dan mayoritas negara berkembang mengalami tekanan signifikan di pasar keuangan.
Indonesia, dalam APBN 2019, menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen.
Ancaman
Wapres Kalla menyebutkan, perekonomian Indonesia masih harus menghadapi ancaman perang dagang Amerika Serikat-China, dampak Brexit, serta konflik Timur Tengah. Indonesia perlu meningkatkan ekspor dan investasi agar perekonomian tetap terjaga.
Investasi yang masuk ke Indonesia mesti dimanfaatkan untuk mengembangkan industri substitusi impor. Pemerintah telah berupaya membangun infrastruktur untuk menekan biaya logistik yang selama ini menjadi momok.
Koordinasi sektor perbankan dan pasar modal perlu dipantau dengan hati-hati karena saling memengaruhi. Suku bunga simpanan perbankan yang tinggi dapat membuat investor tidak melirik pasar modal.
Sementara, pelaku industri jasa keuangan diharapkan tetap optimistis dalam menggali peluang pada tahun ini. Sebab, Bank Sentral AS, The Fed, diperkirakan tak akan seagresif tahun lalu dalam menaikkan suku bunga acuan. Modal diperkirakan mengalir ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Optimisme juga bisa kian dipacu seiring penguatan rupiah terhadap dollar AS. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Jumat, nilai tukar Rp 14.076 per dollar AS.
Sepanjang 2018, rupiah melemah hingga mencapai titik terendah pada Rp 15.253 per dollar AS pada 11 Oktober. Namun, mulai 5 November, nilai tukar meninggalkan kisaran Rp 15.000-an per dollar AS, bergerak ke kisaran Rp 14.000-an per dollar AS.
Secara terpisah, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, berpendapat, pasar keuangan perlu diperluas dan diperdalam untuk meningkatkan literasi keuangan. “Kelas menengah perlu didorong untuk menabung dan berinvestasi ketimbang menghabiskan uang di luar negeri,” katanya.
Terjaga
Dalam kesempatan terpisah, Bank Indonesia optimistis perekonomian Indonesia akan tetap terjaga pada 2019. Pertumbuhan ekonomi akan ditopang permintaan domestik. Kendati demikian, BI tetap mencermati tantangan internal dan eksternal.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo di Jakarta, Jumat, menyampaikan, tantangan internal yang diperkirakan akan dihadapi adalah defisit neraca perdagangan. Tahun ini, neraca perdagangan masih akan tertekan impor yang tinggi.
“Neraca perdagangan memang masih akan defisit, tetapi trennya menurun,” ujar Dody.
Adapun tantangan eksternal adalah kenaikan suku bunga The Fed yang diperkirakan masih akan terjadi tahun ini. Ketidakpastian kondisi global akibat perang dagang juga dinilai masih berdampak terhadap perekonomian Indonesia. (LSA/LAS/E18)