JAKARTA, KOMPAS – Sebagai partai yang telah melalui berbagai era sejak tahun 1973, PDI Perjuangan perlu merancang pembaharuan dirinya dalam menghadapi jaman yang akan berubah. Salah satu yang perlu dilakukan adalah menerjemahkan kembali pemikiran marhaenisme.
“PDI Perjuangan perlu memikirkan Marhaenisme 4.0, di mana persepsi yang dulu tidak lagi sama dengan yang akan datang, katakanlah 2029,” kata peneliti politik yang juga Dosen Universitas Pertahanan Kusnanto Anggoro, dalam peluncuran buku “PDI Dalam Pusaran Politik Orde Baru (1973-1998)” yang digelar di PARA Syndicate, Jakarta, Jumat (11/1/2019).
Turut hadir aalam acara peluncuran buku karya FS Swantoro dan Jusuf Suroso itu, antara lain dua politisi PDI Perjuangan yaitu Komarudin Watubun dan Andreas Hugo Pariera
Ke depan yaitu tahun 2024, sudah harus muncul dengan ide-ide yang lebih nyata sebagai wujud marhaenisme atau wong cilik
Kusnanto menilai, secara umum ideologi partai belum terbentuk dengan baik. Identitas PDI Perjuangan pada hari ini juga belum jelas. Ia melihat ada siklus 25 tahun, yang kalau dihitung sejak tahun 1973, 25 tahun yang kedua akan jatuh pada tahun 2023. “Dulu tahun 1973-1998 di masa Orde Baru, PDI hanya supaya survive. Namun, ke depan yaitu tahun 2024, sudah harus muncul dengan ide-ide yang lebih nyata sebagai wujud marhaenisme atau wong cilik itu,” kata Kusnanto.
Perubahan
Saat ini, lanjut Kusnanto, harus diakui terjadi pesimisme terhadap partai. Terkait hal itu, ke depan, harus ada perubahan, terutama untuk generasi masa depan PDI Perjuangan. Terkait hal itu, dibutuhkan pengejewantahan ideologi dalam bukti yang lebih nyata. Sebagai contoh, bagaimana sikap partai itu tentang pajak progresif atau jaminan kesehatan.
“PDI Perjuangan itu partai yang mewujudkan demokrasi nasional. Ke depan, bagaimana hal itu diterjemahkan? Misalnya, seperti apa pemerintahan yang Pancasilais? Atau bagaimana aplikasi empat pilar kebangsaan ke generasi muda,” kata Kusnanto.
Sementara itu, Andreas Hugo Parieramengatakan, salah satu karakter PDI adalah konflik internal yang merupakan warisan Partai Nasional Indonesia. Ia juga menuturkan bahwa saat ini politik biaya tinggi yang menjadi sebuah realitas. Walaupun sebagai politisi ia sebenarnya lebih menginginkan politik biaya rendah, tapi realitas sulit dilawan.
Politik ke depan harus dibuat lebih memiliki etika.
Padmono Sk, mantan wartawan yang juga anggota legislatif, yang membandingkan politisi jaman Orde Baru dan sekarang. Padmono mengatakan, bahawa politik ke depan harus dibuat lebih memiliki etika.
Penulis buku ini, yaitu FS Swantoro mengatakan, saat mulai terbentuk, PDI hanyalah partai gurem. Dengan situasi di mana tahun 1971 Golkar menjadi penguasa, PDI dan Partai Persatuan Pembangunan ibarat penyerta saja. Hasil pemilu setiap lima tahun sudah pasti dikuasai Golkar yang juga didukung oleh ABRI. Secara internal, ada karakter konflik. Sementara secara eksternal, konflik itu dimanfaatkan agar PDI tidak bisa besar.
Yusuf menggarisbawahi, namun rentetan perpecahan dan intervensi Orde Baru mencapai puncaknya pada 27 Juli 1997. Insiden penyerbuan markas PDI itu yang kemudian mengawali gelombang reformasi yang berakhir pada turunnya Soeharto dari kursi Presiden kedua RI.