Penanggulangan Bencana Butuh Keterlibatan Semua Pihak
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
SUKABUMI, KOMPAS - Penanggulangan bencana di Indonesia membutuhkan sinergi dan keterlibatan semua pihak. Selain itu, kompleksitas ancaman bencana membutuhkan dukungan studi ilmiah dari para ahli untuk memitigasinya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana berencana membentuk divisi khusus untuk mewadahi ahli kebencanaan di Indonesia.
“Presiden sudah menginstruksikan kepada BNPB untuk menangani bencana lebih terintegrasi. Kita akan perbaiki sinergi antar lembaga,” kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen Doni Monardo, di Sukabumi, Jumat (11/1/2019).
Sebagai langkah awal, Doni mengajak sejumlah pimpinan instansi terkait dan sejumlah pakar bencana untuk melakukan kunjungan lapangan ke lokasi longsor di Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat dan daerah terdampak tsunami di Banten hingga hari Minggu (13/1).
Turut dalam kunjungan ini antara lain Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Dwikorita Karnawati, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kasbani, Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto, dan Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia Gegar Prasetya.
Dwikorita mengatakan, BMKG tengah bekerja sama dengan PVMBG untuk bisa memberikan peringatan dini longsor yang lebih baik. “Kami overlay peta cuaca dan prediksi curah hujan dengan peta potensi gerakan tanah yang dikeluarkan PVMBG tiap bulan. Nantinya, peringatan bisa dikeluarkan tiga hari atau bisa seminggu sebelumnya ke daerah dan berikutnya BPBD bisa menyampaikan ke desa-desa yang rentan,” kata dia.
Sekalipun upaya peringatan dini longsor ditingkatkan, namun menurut Dwikorita, untuk mengantisipasi longsor yang paling penting adalah meningkatkan pemahaman masyarakat untuk mengenali ciri-ciri bencana ini sejak awal. Selain itu, harus ada perubahan tata ruang.
Menurut Doni, upaya penanggulangan bencana tidak akan efektif tanpa dukungan masyarakat. “BNPB akan bangun kesadaran masyarakat agar setiap saat mereka memiliki kepedulian, misalnya pada musim hujan, waspada banjir dan longsor. Kemudian menjelang musim kemarau, kebakaran hutan. Dan beberapa tempat yang telah diberikan analisis oleh sejumlah pakar, itu juga harus kita antisipasi. Dan bagaimana masyarakat kita bisa lebih siap,” kata Doni.
Saat meninjau desa yang tertimpa longsor pada 31 Desember 2018 lalu itu, Doni juga mengingatkan bahwa pola bermukim sebelumnya telah memicu meningkatnya risiko karena mereka tinggal di wilayah dengan kemiringan 30 derajat dengan bagian atas tebing ditanami sayur dan padi. Dalam kunjungan di kawasan longsor itu, Doni dan sejumlah pimpinan instansi secara simbolis menanam berbagai bibit tanaman keras.
Tim pakar
Selain meningkatkan sinergi, menurut Doni, BNPB akan mewadahi para pakar kebencanaan untuk mendukung kegiatan pengurangan risiko bencana. “Mereka seperti tim intelijen untuk antisipasi ancaman bencana,” kata Doni.
Para pakar kebencanaan ini bisa berasal dari berbagai institusi. Untuk tsunami misalnya bisa berasal dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta profesional.
“Masukan dari para pakar ini diharapkan bisa jadi dasar kebijakan. Bisa sebulan atau dua bulan sekali kita buat sampaikan ke masyarakat hasil kajian mereka terkait ancaman bencana kedepan agar bisa waspada,” kata dia.
Beberapa kejadian bencana tak terantisipasi dengan baik karena masih adanya kesenjangan antara kajian-kajian ilmiah dengan kebijakan pemerintah. Misalnya, studi tentang ancaman tsunami dari Anak Krakatau telah terbit di jurnal ilmiah internasional sejak 2012.
Sejumlah penelitian sebelumnya juga sudah memberikan peringatan tentang hal ini. Namun, hingga terjadinya tsunami pada 22 Desember 2018 lalu, kita belum memiliki sistem peringatan dini tsunami vulkanik. Masyarakat juga tidak disiapkan menghadapinya.