Kisah trilogi persahabatan manusia dan hewan mitologi penyembur api produksi studio animasi DreamWorks Animations akhirnya memasuki babak pamungkas. Itu sewindu sejak pertama kali film ini diluncurkan atau empat tahun setelah sekuel keduanya ditayangkan di bioskop.
Pada sekuel ketiga, How To Train Your Dragon: The Hidden World, sang tokoh utama, Hiccup (diisisuarakan Jay Baruchel), dikisahkan telah beranjak dewasa. Dia bahkan diangkat menjadi kepala suku Berk, salah satu suku bangsa Viking, yang tadinya anti dan bahkan berburu hewan naga.
Bersama hewan peliharaan sekaligus sahabatnya, Toothless, seekor naga hitam legam berjenis langka, Night Fury, serta para sahabat lain yang juga sama-sama punya naga kesayangan, mereka membangun sebuah tempat utopia di mana manusia dan para makhluk penyembur api itu hidup damai berdampingan.
Dalam sekuel kali ini, naga masih kerap diburu. Walau disadari berisiko memicu populasi berlebih lantaran semakin banyak hewan naga yang coba diselamatkan dan ditampung, Hiccup dan teman-teman tetap terus menyelamatkan naga-naga lain yang tertangkap para pemburu.
Padahal, semakin banyak naga bermukim di satu tempat, justru menjadikan kampung suku Berk sangat rentan terhadap serangan pemburu naga. Hal itu sangat merisaukan Hiccup, apalagi ketika satu waktu mereka berurusan dengan sekelompok pemburu yang bekerja sama dengan Grimmel (diisisuarakan F Murray Abraham).
Grimmel adalah orang jahat pemburu naga dan terobsesi menghabisi seluruh naga jenis Night Fury. Grimmel dibantu empat naga menyeramkan yang dapat dia manipulasi, bersenjatakan muntahan cairan asam kuat warna hijau.
Satu malam, Grimmel berhasil meneror Hiccup di desanya. Kondisi itu yang kemudian membuat Hiccup sangat cemas dan berpikir pindah mencari satu tempat yang, berdasarkan sebuah legenda, merupakan dunia tersembunyi tempat para naga bisa hidup aman jauh dari ancaman manusia.
Sayangnya, rencana itu justru dimanfaatkan Grimmel yang menjebak Hiccup beserta kawan-kawannya. Persoalan bertambah lantaran Grimmel juga memanfaatkan seekor naga jenis Flight Fury, naga betina mirip Toothless tetapi berwarna putih, untuk menjebak naga kesayangan Hiccup itu.
Walau jebakan gagal, Toothless terpesona pada Flight Fury sehingga situasi menjadi lebih rumit. Hiccup memang tak melarang Toothless, yang tengah kasmaran, mengejar dan mendekati Flight Fury. Akan tetapi, kondisi itu justru memecah tak hanya konsentrasi, tetapi juga kekuatan Hiccup dan kawan-kawan dalam menghadapi Grimmel.
Oleh sang kekasih, Astrid (America Ferrera), dan juga sang ibu, Valka (Cate Blanchett), Hiccup coba disadarkan agar tak terlalu mengandalkan naga kesayangannya itu dan lebih bisa mandiri menghadapi persoalan.
Kisah dan pergulatan batin seperti itu memang coba dimunculkan sang sutradara sekaligus penulis naskah Dean DeBlois yang dalam seri terakhir trilogi ini membangun plot dan alur cerita dengan jauh lebih rumit dan kompleks ketimbang dua sekuel sebelumnya.
Oleh DeBlois, sosok Hiccup digambarkan memang sudah jauh lebih dewasa sehingga harus mampu membuat sejumlah keputusan besar. Termasuk seperti ketika dia mencoba meyakinkan penduduk sukunya untuk mau ”hijrah” mencari ”Dunia Tersembunyi” walau hanya berdasarkan catatan mendiang sang ayah.
Hiccup juga digambarkan harus membuat keputusan berat lain, salah satunya melepaskan Toothless untuk hidup mandiri berpasangan dengan betinanya, Light Fury. Pada saat bersamaan, dia pun harus menghadapi musuh berat, Grimmel, yang mengaku kenal mendiang ayahnya.
Dengan pengalaman dan kelicikannya, Grimmel digambarkan mampu membuat Hiccup kelimpungan dan bahkan merasa tak berdaya. Meski begitu, dalam kisah kali ini pada dasarnya, baik Hiccup maupun Toothless, keduanya sama-sama mengalami proses pendewasaan diri lewat tempaan beragam persoalan yang mereka hadapi.
Lebih rumit dan dewasa
Kisah yang lebih rumit dan dewasa seperti itu oleh Paul Byrnes, sutradara film yang juga kritikus film selama dua dekade untuk surat kabar The Sydney Morning Herald, diyakini memang sengaja dijadikan sebagai semacam penutup kisah dari trilogi yang indah dan menyentuh bagi penonton setianya, terutama mereka yang memang mengikuti sejak awal trilogi ini.
Dalam artikel kritiknya di situs The Sydney Morning Herald, Byrnes menyebutkan, jika diibaratkan si penonton berusia empat tahun saat menonton trilogi pertamanya tahun 2010, sekarang si anak tersebut sudah beranjak dan memasuki usia remaja. Dengan begitu, mereka dianggap bisa memahami konsep cerita yang jauh lebih dewasa lagi.
Sudah waktunya bagi mereka untuk bisa memahami persoalan-persoalan hidup yang jauh lebih rumit, seperti masalah romansa, tanggung jawab, dan kepercayaan, seperti dikisahkan dalam sekuel terakhir How To Train Your Dragon: The Hidden World ini.
Kisah pencarian dunia tersembunyi tampaknya memang menjadi semacam penutup pas, tetapi tetap dengan mempertahankan nilai-nilai yang timeless, seperti tentang persahabatan, dengan tetap dibumbui beragam aksi dan petualangan epic macam pertempuran udara sambil menunggang naga.
Lebih lanjut, selain kisah yang lebih menarik, kualitas gambar dan animasi seri terakhir trilogi ini juga terlihat lebih canggih dan bahkan mendekati gambar nyata. Film animasi berdurasi 104 menit itu mendapat banyak pujian di situs Rotten Tomatoes, terutama lantaran jalan cerita dan ending yang sangat emosional dan mampu memberikan pesan kuat.