AMBON, KOMPAS - Kepolisian Daerah Maluku mengungkap jaringan petambang liar, mulai dari pemodal, pengedar merkuri dan sianida, pengolah emas, hingga penambang material. Sebanyak 8 orang yang terhubung dalam satu jaringan yang beroperasi sejak Oktober 2011 di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, itu telah ditetapkan sebagai tersangka.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Maluku Komisaris Besar Bastian Nainggolan di Ambon, Jumat (11/1/2019), mengatakan, kedelapan orang itu sudah ditahan di ruang tahanan Markas Kepolisian Resor Pulau Buru. Penahanan itu demi mempermudah proses penyidikan yang kini masih terus berlangsung.
Polisi pun terus memburu jaringan lainnya yang diduga ikut merambah Gunung Botak. Banyak jaringan yang terbangun sejak lokasi itu mulai beroperasi secara ilegal pada Oktober 2011. Saat itu, jumlah petambang sempat melampaui 20.000 orang. Anggota jaringan itu saling terhubung. Mereka selalu berupaya agar penambangan ilegal tetap langgeng.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, untuk membangun satu unit pengolahan emas menggunakan sianida dibutuhkan modal paling sedikit Rp 50 juta. Dalam satu bulan, petambang “memanen” emas sebanyak dua kali. Setiap kali panen, mereka meraup penghasilan hingga Rp 100 juta. Di Gunung Botak terdapat sekitar 2.000 unit pengolahan menggunakan sianida. Itu belum termasuk pengolahan menggunakan merkuri dan karpet penyerap mineral.
Pemerintah daerah hingga pusat pun telah berupaya menutup lokasi itu sebanyak lebih dari 30 kali. Bahkan, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan instruksi untuk menutup tambang emas ilegal terbesar di Indonesia itu. Namun, setelah ditutup, mereka kembali merambah Gunung Botak.
Penutupan terakhir dilakukan pada Oktober 2018 yang dipimpin langsung oleh Kepala Polda Maluku Inspektur Jenderal Royke Lumowa. Setelah ditutup, polisi memburu pelaku yang terhubung dalam jaringan tambang liar. Hingga saat ini, Gunung Botak steril dari aktivitas penambangan liar. “Penegakan hukum itu memberikan efek jera. Mereka takut kembali lagi ke tambang liar,” ujar Bastian.
Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat menambahkan, dalam kasus penambangan liar itu, ada dua oknum anggota Polri yang diduga ikut terlibat. Selain menerima sejumlah uang dari petambang liar, mereka juga ikut melanggengkan praktik penambangan liar tersebut. Dua oknum dimaksud bertugas di Polres Pulau Buru.
“Diingatkan kepada anggota Polri di lapangan, jangan coba-coba bermain. Kalau ada yang kedapatan dan terbukti, akan dipecat,” katanya. Kini, polisi juga mendalami dugaan aliran suap kepada oknum aparat yang diduga mencapai Rp 16 miliar per bulan.
Perusahaan
Dalam kasus berbeda tapi masih terkait pertambangan di Gunung Botak, Badan Reserse Kriminal Mabes Polri menetapkan satu tersangka dalam kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan di Gunung Botak. Tersangka adalah salah satu pimpinan perusahaan itu.
“Kasusnya sudah naik ke tahap penyidikan dan salah satu pimpinan pada perusahaan itu sudah jadi tersangka. Kami masih terus mengembangkan kasus tersebut,” kata Komisaris Besar Sulistiono, Kepala Subdirektorat I Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, dalam konferensi pers di Ambon, Jumat.
Aktivitas perusahaan itu diduga menyalahgunakan izin. Pada tahun 2015, perusahaan tersebut mendapat izin penataan Gunung Botak pascapenutupan tambang liar. Kenyataannya, perusahaan tersebut diduga melakukan penambangan terselubung.
Menurut Sulistiono, pemeriksaan juga akan dilakukan kepada pihak pemberi izin, yakni Pemerintah Provinsi Maluku. Selama proses penyidikan berlangsung, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Maluku Martha Nanlohy sudah diperiksa beberapa kali.