JAKARTA, KOMPAS-- Mempertahankan produksi minyak dalam negeri menjadi prioritas pemerintah dalam jangka pendek. Blok Rokan di Riau dan Blok Cepu di Jawa Timur diandalkan untuk menjaga tingkat produksi agar tidak semakin menurun.
Tahun lalu, realisasi produksi siap jual atau lifting minyak sebanyak 778.000 barrel per hari. Realisasi ini lebih rendah dari target APBN yang sebesar 800.000 barrel per hari.
Adapun tahun ini, lifting minyak dalam APBN ditargetkan 775.000 barrel per hari. Sementara, lifting gas dalam APBN sebesar 1,250 juta barrel setara minyak per hari.
Lifting minyak Indonesia dalam beberapa tahun terakhir berkisar 700.000 barrel per hari sampai dengan 800.000 barrel per hari. Sekitar 75 persen dari lapangan minyak di Indonesia berumur sekitar 25 tahun hingga 50 tahun. Seiring usia lapangan yang menua, produktivitas lapangan tersebut juga terus merosot.
"Secara alamiah, kalau dikuras terus, ya, akan habis. Prioritas kami, bagaimana mempertahankan produksi. Blok Cepu, misalnya. Perencanaan awal berproduksi 165.000 barrel per hari, tetapi sampai sekarang menghasilkan 220.000 barrel per hari. Itu yang akan kami jaga," kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto, Jumat (11/1/2019), di Jakarta.
Selain Blok Cepu, lanjut Djoko, produksi minyak berasal dari Blok Rokan, yang saat ini masih dikelola Chevron Pasific Indonesia. Blok itu menghasilkan minyak 200.000 barrel per hari. Mulai 2021, Blok Rokan dikelola PT Pertamina (Persero) seiring masa kontrak Chevron di blok itu berakhir.
"Pertamina akan mulai terlibat pemboran di blok tersebut pada tahun ini. Semoga produksi terus terjaga dengan keterlibatan Pertamina nanti," ujar Djoko.
Eksplorasi
Menurut pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, dalam jangka panjang, eksplorasi untuk menemukan cadangan minyak baru harus digalakkan. Apalagi, sumber daya migas di Indonesia terbilang masih besar. Perlu usaha keras agar sumber daya tersebut dinaikkan statusnya menjadi cadangan terbukti.
"Pertamina harus didorong untuk menggiatkan eksplorasi di dalam negeri. Tanpa penemuan cadangan baru berskala besar, Indonesia akan terus bergantung pada impor. Ingat, produksi migas yang kita nikmati sekarang ini datang dari lapangan besar yang sudah lama berproduksi, seperti Rokan, Mahakam, Tangguh, dan Cepu," kata Pri Agung.
Sebelumnya, Presiden Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) Tumbur Parlindungan mengatakan, untuk menaikkan produksi minyak di dalam negeri, satu-satunya cara dengan menggiatkan eksplorasi. Eksplorasi bisa diintensifkan jika iklim investasi di Indonesia menarik di mata investor. Kemudahan perizinan dan proses eksekusi yang cepat sangat dibutuhkan investor.
"Investor akan selalu membandingkan kondisi investasi hulu migas dari berbagai negara tujuan. Negara yang dianggap paling menarik untuk investasi akan menjadi target utama," ujar Tumbur.
Investasi hulu minyak dan gas bumi pada 2018 naik menjadi 12,5 miliar dollar AS, dibanding realisasi pada 2017 yang sebesar 11 miliar dollar AS. Penerimaan negara bukan pajak sektor migas juga naik dari Rp 88,6 triliun pada 2017 menjadi Rp 163,4 triliun pada 2018. Kenaikan investasi migas belum mampu meningkatkan angka lifting minyak di dalam negeri.
Selain itu, anggaran pemerintah untuk survei seismik dalam usaha menemukan sumber cadangan migas yang baru sangat terbatas. Pada 2018, pemerintah menganggarkan Rp 96 miliar untuk survei di dua lokasi. Akan tetapi, belum ada alokasi anggaran untuk kegiatan yang sama pada tahun ini.
Hasil survei tersebut penting untuk memperkuat data rekomendasi penetapan wilayah kerja migas yang hendak dilelang. Potensi migas di Indonesia disebut-sebut masih besar. (APO)