Yustina Jari dan Sorgum yang Memberdayakan
Musim kemarau selalu bikin pusing petani Desa Kima Kamak, Kecamatan Adonara Barat, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Pada musim itu, tanaman jagung dan pisang mati yang biasa memberi rezeki, mati kekurangan air. Namun sejak 2016, Yustina Jari (39) mengingatkan bahwa warga punya alternatif lain, yakni sorgum.
Sorgum adalah tanaman jenis rerumputan macam gandum dan jagung. Namun, batangnya lebih tinggi dibanding batang pohon jagung. Jenis tanaman serealia itu hilang dari ingatan petani selama puluhan tahun menyusul pergeseran pola konsumsi dari bahan pokok umbi-umbian, jagung dicampur kacang-kacangan, pisang menjadi beras. Padahal, warga hanya bisa menanam hanya setahun karena curah hujan yang rendah.
Dengan kondisi tanah yang keras dan berbatu, tanaman sulit untuk tumbuh. Benih jagung hibrida yang dibagikan pemerintah kepada petani juga tidak tahan dengan kondisi Desa Kima Kamak, Adonara Barat yang kering kerontang.
Di musim kemarau, daun jagung berlekuk-lekuk dan layu. Jagung hasil panen pun hanya tahan simpan dua bulan, setelah itu berjamur. Karena itu, warga menjual persediaan jagung mereka sesegera mungkin. Setelah itu, warga memenuhi kebutuhan pangan mereka dari hasil berjualan daun singkong, daun ubi jalar, pepaya, dan kayu bakar ke Pasar Waiwarang, Kepulauan Adonara.
Yustina pun biasa berjualan apapun yang bisa dihasilkan dari kebunnya ke Pasar Waiwarang, setidaknya tiga kali seminggu. Seperti warga Desa Kima Kamak lainnya, Yustina pergi ke pasar itu dengan menumpang perahu motor yang ditempuh selama 45 menit dengan ongkos pulang-pergi Rp 25.000. Ia bisa mengantongi Rp 100.000-Rp 200.000 dari penjualan buah, sayuran dan kayu bakar. Uang itu dipakai untuk membeli beras 20-30 kilogram seharga Rp 10.000-Rp 11.000 per kilogram untuk makan sekeluarga satu seminggu.
Ia harus bisa mengatur waktu. Pagi ia mengurus anaknya berangkat sekolah, mengasuh seorang cucunya, dan menyambangi tanaman di kebunnya. Beberapa jam di kebun, ia kemudian pulang menyiapkan makan siang untuk anaknya yang pulang dari sekolah, dan suaminya, Jacobus Doni Narek. Urusan makan selesai, ia berangkat lagi ke kebun dan baru pulang sore hari.
Terkadang seharian ia menemani suaminya menyambangi ladang garapan yang berlokasi di lereng sebuah bukit. Setelah bekerja sekitar dua jam, keduanya pulang dan tiba di rumah sore hari. “Kalau jalan ke ladang milik bapak (suaminya), badan keluar keringat, sakit flu bisa sembuh,” ujar Yustina menggambarkan jauhnya perjalanan dari rumahnya ke kebun.
Pada 2016, kemarau panjang terjadi di desa itu yang membuat persediaan pangan menipis. “Kami bingung tidak bisa makan karena jagung, pisang, dan ubi kayu mati kekurangan air akibat kemarau panjang waktu itu," tambah Yustina yang biasa dipanggil Mama Jari.
Pada saat itulah ia bertemu dengan Marselinus Beda Hurik, dari Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial di Flores Timur. Marselinus memberinya segenggam sorgum (Sorghum bicolor. L) untuk ditanam di lahan kebunnya.
Percaya Hala
Tahun 2016, ada lembaga pendamping masyarakat yang menggelar program adaptif untuk pengembangan pangan lokal seperti sorgum, jawawut, jagung lokal dan kacang-kacangan. Yustina memilih menanam sorgum pemberian Marselinus di kebun seluas setengah hektar yang berdekatan dengan tempat tinggalnya. Areal kebun ia bagi dua untuk ditanami sorgum dan jagung hibrida.
Di tengah perannya sebagai ibu dan petani, Yustina tidak memikirkan keluarganya saja, melainkan warga lain. Ia ingin warga juga bisa mengurangi ketergantungan pada beras yang sering gagal panen dan harganya mahal karena didatangkan dari luar daerah di musim gelombang tinggi. “Saya coba dulu (menanam sorgum), biar bisa mengajak orang lain ikut tanam,” ujarnya.
Hasilnya, ketika musim kemarau, jagung hibrida mati kering kekurangan angin, sementara sorgum tumbuh subur dan bisa dipanen. Sorgum itu laku dijual Rp 15.000 per kilogram di kampung. Namun, ia tak menjual semuanya. Sebagian ia bagikan kepada para ibu rumah tangga agar dijadikan bibit untuk ditanam.
Tidak hanya membagikan, ia juga secara aktif mengajak ibu-ibu benar-benar menanam sorgum. Jika ada kesempatan, saat siang atau malam, ia menemui para ibu di rumah maupun ladang untuk sekadar ngobrol tentang sorgum.
Awalnya, warga bersikap percaya hala atau ragu mengerjakan sesuatu yang baru di luar kebiasaan umum sebelum melihat hasil konkret, terutama pemasaran sorgum setelah dipanen. Sikap warga itu wajar, sebab pasar adalah muara dari proses produksi usaha tani. “Kita tanam dulu, kalau sudah panen YPPS bantu cari pembeli nanti,” begitu ia memberi semangat warga.
Saat itu, ia hanya mampu ‘memengaruhi’ 15 keluarga menanam sorgum, dengan alasan coba-coba. Setelah tiga bulan, sorgum bisa dipanen, lalu hasil panen mereka konsumsi keluarga, selebihnya dijadikan benih.
Tahun 2017 keraguan warga mulai berubah. ada 15 keluarga lainnya yang bersedia menanam sorgum, di lahan seluas total 2 hektar. Warga kian bersemangat karena sorgum bisa dipetik empat kali dalam setahun, dan bertahan hidup di musim kemarau. Tahun itu, lembaga pendamping gagal membeli semua sorgum yang dipanen warga, meski harganya Rp 10.000 per kilogram. Pasalnya, tidak satu pun petani yang menjual sorgum. Semua hasil panen mereka konsumsi sendiri.
Dari situ, Yustina semakin yakin, kerja kerasnya mengajak para tetangga untuk menanam sorgum dan menjadikannya sebagai makanan pokok, tidak sia-sia. Seiring dengan itu, konsumsi nasi mulai berkurang. Warga semakin terbiasa mencampur sorgum dan nasi untuk dimasak. Perbandingan campurannya lebih banyak sorgum dibanding nasi.
Yustina yang lulusan Sekolah Dasar terus mengembangkan daya kreatifnya, dengan mengikuti pendidikan dan pelatihan keterampilan membuat makanan olahan yang digelar sejumlah yayasan. Dalam pelatihan itu, ia mendemonstrasikan cara membuat kolak dengan bahan jawawud, membuat tepung pisang, dan es berbahan sorgum. Ia juga bisa mengolah ‘umbi beracun’ menjadi makanan yang aman disantap.
Pekerjaan Rumah Yustina masih banyak, karena dari 90 keluarga di desa itu, baru 30 keluarga yang mengikuti jejaknya menanam sorgum dan bahan pangan lokal lainnya. Mereka bergabung dalam Kelompok Tani Desa Kima Kamak. Tetapi kiprahnya telah menginspirasi petani untuk menanam komiditas pangan sesuai iklim.
Berkat kiprah Yustina, Pemerintah Desa Kima Kamak memberlakukan Peraturan Desa pada 2018 yang mewajibkan petani menanam sorgum. Desa itu juga mendapat sumbangan Kementerian Pertanian, berupa mesin perontok-pemisah biji sorgum dan kulit arinya, dan mesin giling untuk membuat tepung sorgum.
Yustina Jari
Lahir: Desa Kima Lamak, Flores Timur, NTT
Suami: Jacobus Doni Narek
Anak: Stevanus Don Narek, Yuliana Sovila Uto, Yovinsius Suban Narek
Pendidikan: SDN Inpres Adonara (1992)
Penghargaan: Perempuan Pejuang Pangan 2018 dari Oxfam Indonesia