Dari Alis Turun ke Hati
Bagi Anggie Rassly, dua garis hitam di atas mata itulah dunianya. Anggie kini dikenal sebagai praktisi spesialis alis. Berbekal belasan tahun pengalaman, dia bisa menyatakan, tanpa kita bicara, alis sudah berkomunikasi.
Hanya dengan melihat wajah seseorang, Anggie sudah paham bentuk alis seperti apa yang sesuai. ”Dari tadi tuh aku udahngeliatin wajah kamu. Alisnya sudah bagus, cuma perlu diisi atasnya karena matanya besar, tapi kelopaknya turun. Gemes kalau melihat alis orang enggak pas, he-he-he,” ujar Anggie, Senin (7/1/2019), di Anggie Rassly Brow Studio, Jakarta.
Tiap Senin, Anggie mengalokasikan waktu untuk rapat bersama anggota stafnya, bertemu dengan media, blogger, atau janji temu lainnya. Hari-hari selebihnya dia sibuk menggarap alis klien. Antrean sulam alis di studionya sudah penuh hingga tahun 2020. Kliennya pun banyak dari kalangan pesohor negeri ini.
Setiap hari dia membatasi hanya mengerjakan sulam alis 10 orang. Bahkan, Anggie berencana mengurangi klien jadi tujuh atau delapan orang saja per hari. Itu semata demi menjaga kualitas dalam membentuk alis para klien.
Bagi Anggie, dalam rangkaian riasan, upaya membentuk alis sebenarnya paling minim, tetapi berdampak paling besar.
”Kalau dibandingkan, orang yang sudah beralis dengan yang belum itu drastis banget bedanya. Mau make-up sebagus apa pun, layering foundation serata apa pun, blending sesempurna apa pun, kalau alisnya jelek, seluruh riasan jadi jelek. Sebaliknya, make-up enggak sempurna, kalau alis bagus, (ketidaksempurnaan) tertutup semua,” paparnya.
Dari pemahaman itu, Anggie makin banyak menggali pengetahuan tentang alis dan teknik menyempurnakannya. Semakin digali, semakin dia paham bahwa alis merupakan alat komunikasi nonverbal yang paling sering kita pakai.
Alis jadi menarik karena bisa mengubah wajah si empunya secara keseluruhan. Fungsinya pun banyak, antara lain memaksimalkan emosi wajah, memancarkan karakter, serta menyeimbangkan wajah yang tak simetris.
Untuk mendukung argumen itu, Anggie bahkan menulis artikel yang sudah diterbitkan di Prime, jurnal internasional tentang estetika dan pengobatan antipenuaan. Dalam artikel itu, Anggie berargumen bahwa metode yang ia pakai untuk menyulam alis adalah metode yang paling mendekati angka sempurna berdasarkan golden ratio, dengan dukungan angka dan penghitungan.
Kajian dalam jurnal itu bisa menjadi referensi para dokter kecantikan untuk menentukan titik botox, atau bagi para dokter bedah plastik untuk mendukung pekerjaan mereka.
”Ternyata seru banget bikin jurnal seperti itu. Aku jadi belajar lagi. Soal alis saja ternyata banyak sekali hal yang bisa digali,” ujar Anggie.
Pionir
Bisa dikatakan Anggie adalah pionir sulam alis atau micropigmentation di Indonesia. Ketika memulai tahun 2005, belum banyak orang terjun di bidang khusus sulam alis. Dengan referensi yang masih minim, dia menimba ilmu ke Singapura, Korea Selatan, Jepang, hingga ke Eropa dan Amerika Serikat.
Tidak mudah meyakinkan orang bahwa metode yang dipakainya aman dan bisa jadi solusi jangka panjang. Orang masih berpandangan membentuk alis dengan tato, padahal berbeda. Tak sedikit pula yang mengira metode sulam alis berbahaya.
Dia tak menyerah, terlebih karena dia sangat menyukai apa yang dikerjakannya. Seiring perjalanan waktu, dia bisa membuktikan bahwa apa yang dilakukannya bisa dipertanggungjawabkan.
Hal yang diutamakan Anggie adalah menyeimbangkan antara keinginan dan kebutuhan klien. Sering kali klien datang dengan berbagai keinginan, tetapi mereka sadari itu tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Anggie selalu memberikan konsultasi lebih dulu untuk mempertemukan kedua hal itu. Dia akan mengobrol sembari menggambar desain alis. Obrolan itu sedikit banyak akan mengungkap karakter si klien.
”Jadi bisa ketahuan maksud dia alisnya naik itu segini, panjangnya segini, warnanya begini. Banyak yang datang dan bilang: aku ingin alis seperti punya si A. Padahal itu tidak mungkin. No one share the same eyebrow. Jadi saya ambil konsepnya saja, lalu disesuaikan dengan fitur mukanya, karakter uniknya.”
Kadang-kadang orang tidak paham bahwa faktor yang perlu dipertimbangkan untuk membentuk alis itu bukan hanya bentuk wajah, tetapi juga jarak elipis ke mata, bentuk kelopak mata, jarak mata ke hidung, bentuk dahi, bentuk tulang alisnya. Kalau jarak mata dan alis jauh, tetapi ingin alis dibuat naik, jadinya malah muka terlihat galak. Runyam, kan?
Warisan
Anggie senang membentuk alis sejak duduk di bangku SMP atau sekitar usia 15 tahun. Sebagai remaja yang memasuki masa puber, dia sadar dengan penampilan. ”Aku memang enggak punya alis. Lalu aku sadar, dengan atau tanpa alis, wajah kita itu beda banget. Saat aku praktikkan ke orang lain, mereka merasakan hal yang sama,” kenang Anggie.
Dia belajar membentuk alis secara otodidak sebagai bagian dari rangkaian riasan keseharian. Rupanya, hasil gambar alisnya dicermati teman-temannya. Jadilah ketika SMA, teman-temannya sering antre di depan kelas Anggie untuk digambar alisnya. Dia pun mendapat julukan Anggie ”Alis”.
Berlanjut ketika kuliah, dia memiliki pekerjaan sampingan sebagai perias. Dari yang semula hanya teman, dia merias ibu temannya, saudaranya, teman dari temannya, lalu meluas ke mana-mana. Lalu, ia pun mendirikan salon.
Setelah menyelesaikan kuliah di jurusan komunikasi massa, Anggie bekerja di berbagai bidang, seperti periklanan, teknologi informasi, sambil tetap menyulam alis. Pada akhirnya Anggie memutuskan untuk fokus pada satu hal itu saja: alis.
Tidak berhenti di situ. Ketika sudah memantapkan hati untuk terjun di dunia sulam alis, masih banyak orang yang perlu diyakinkan, termasuk keluarganya sendiri. Anggie berasal dari keluarga pebisnis. Oleh orangtuanya, dia diharapkan bisa bekerja di perusahaan, meniti karier menjadi manajer atau direktur.
”Hah? Kecantikan? Mau jadi apa kamu? Buat apa sekolah jauh-jauh ke luar negeri ujung-ujungnya cuma bikin salon? Begitulah orangtua. Tapi sekarang sudah beda, dong (pandangannya),” tuturnya.
Meski awalnya tak sejalan, Anggie tetap memegang ajaran orangtuanya. Boleh saja tidak pintar, tetapi harus berteman dengan orang pintar supaya ikut pintar. Boleh tidak wangi, tetapi harus berteman dengan orang wangi, jadi ikut wangi. Artinya, lingkungan akan memengaruhi diri kita juga.
Anggie juga jeli melihat peluang sehingga usahanya makin berkembang. Kini sudah ada lima divisi dalam perusahaannya, yakni sulam kecantikan, bulu mata, perawatan badan, dan produk alis.
Yang terbaru adalah pengembangan sociopreneur, sebuah yayasan pendidikan dengan beasiswa untuk orang yang ingin menambah keterampilan di bidang sulam alis. Harapannya, ada rekanan yunior yang nanti akan membantu mengerjakan sulam alis klien yang sudah tak tertampung.
”Sekarang aku hampir enggak punya me-time. Tanggung jawabku bukan lagi ’9 to 5’, tapi bisa ’9 to 9’. Jadi, kalau liburan Tahun Baru dan Lebaran enggak boleh diganggu, sebulan penuh. Aku ingin mengganti waktu untuk anak sebanyak-banyaknya,” ujar ibu tiga anak ini.
Sepanjang 13 tahun berkarier, selain materi dan apresiasi, ia juga sudah mendapat aktualisasi diri. Selain meningkatkan kesadaran tentang standar, prosedur, dan higienitas micropigmentation, Anggie juga ingin membuat wadah bagi para profesional sulam alis untuk bertukar pikiran agar industri kecantikan kian maju.
Anggie Rassly
Lahir: Jakarta, 23 Februari 1981
Pendidikan:
- SMA 3 Teladan Jakarta
- Bachelor of Art in Mass Communication Curtin University, Australia
Karya Profesional:
- Founder of Anggie Rassly Brow Studio
- Founder of Anggie Rassly Professional Brow Academy
- Founder of We.AR.Beauty
- Co-Founder RAS Foundation
Publikasi:
- Penulis buku BROW IT UP! (2012)
- Anggie Rassly Brow Ratio, PRIME International Journal of Aesthetic and Anti Ageing Medicine Vol 6 Issue 6 2018
Penghargaan:
- Female Daily Best Brow Studio 2018